5

2K 71 0
                                    

(Hanina)

"Mir, tolong bantu ingatkan teman-teman soal rapat divisi nanti siang ya," seruku sebelum menutup pintu.

"Okee, habis dzuhur di sekre, kan?" Namira, yang duduk bersila memangku sepiring lontong sayur sarapannya, menatapku dengan mata menyipit karena sedang tak berkaca mata.

"Iya. Terima kasih ya, Mir." Aku segera menutup pintu dan berjalan bergegas menuju kampus. Mata kuliah pilihan hari ini dimulai pukul delapan.

Namira adalah tetangga kamarku. Kami satu fakultas, namun beda jurusan. Ia mengambil jurusan yang sama dengan Si Semut Merah itu.

Meski begitu, kami sangat akrab. Ia fotografer yang handal sekaligus editor yang hebat bagi majalah bulanan DKM yang kami kelola. Dia teman berbagi cerita, keluh kesah, camilan, buku novel, dan hal-hal lain. Kecuali satu saja, tentang Si Semut Merah, mata elang di balik lensa minus itu.

Setengah berlari, aku menaiki tangga di depan kantin fakultas dan berbelok di ujung, menuju lorong yang terhubung dengan gedung jurusanku. Langkahku tertahan ketika aku melihat dia. Kautsar. Sedang mengepel di teras masjid.

Masjid kami dikelola oleh mahasiswa, termasuk kebersihannya. Kami hanya mengandalkan relawan yang menyempatkan diri membersihkan masjid. Dan dia, termasuk yang paling sering kulihat mengambil peran itu.

Memikirkan ia sengaja bermotor pagi-pagi dari Bandung, agar tiba lebih awal dan dapat membersihkan masjid, itu saja sudah cukup menambah kekagumanku.

Saat aku sedang asik mengawasinya, tiba-tiba saja ia menoleh. Tangannya masih memegangi alat pel, namun gerakannya terhenti. Mata elang di balik kacamata minusnya menatap lurus ke arahku. Aku gugup. Teringat kejadian sore kemarin. Wajahku kembali memanas.

"Hanina, Pak Pram sudah datang." Satu suara mengagetkanku. Zuhud, teman sekelasku. Ia berjalan cepat-cepat ke arahku.

Rupanya Zuhud juga melihat Kautsar. Ia berseru menyapanya. "Assalamu alaikum, Akh Kautsar! Ayo, kuliah dulu!"

Kautsar melempar senyum. "Waalaikum salam! Ya, silakan. Ane nanti agak siangan." balasnya.

Zuhud berjalan mendahuluiku. Aku melangkah pelan, agak jauh di belakangnya, meninggalkan pemandangan di teras masjid itu.

***

(Kautsar)

Aku hampir yakin bahwa tadi Hanina di sana sedang melihatku. Mungkin ia teringat kejadian kemarin.

Sore kemarin Hanina tergopoh-gopoh mendatangiku. Aku hampir tertawa melihat wajah kagetnya setelah menyadari bahwa aku bukan tukang ojek seperti yang disangkanya.

Ternyata dompet Hanina dicopet di dalam bus yang sudah bergerak menjauh. Tadinya aku ingin mengejar memakai motor, tapi kurasa mungkin Hanina takkan mau kuboncengkan. Apa kata orang jika ada yang melihat seorang akhwat berboncengan dengan ikhwan sesama aktivis masjid?

Tapi tak apa. Aku jadi tak menyesal karena kemarin pulang sore dari tempat kost Zuhud. Setidaknya Hanina jadi memiliki kesan tentangku lebih dari sekadar muazin atau sesama pengurus masjid. Dan sepertinya memang begitu. Tadi itu untuk pertama kalinya ia tidak berjalan tergesa dan menunduk ketika bertemu denganku. Aku bahkan merasa ia hampir menyapaku tadi. Jika saja orang itu tak muncul.

Zuhud. Sejak kemarin, setelah melihat deretan foto Hanina di file komputernya, aku sudah merasa tak senang. Memang di foto itu Hanina sedang bersama teman-teman rohisnya yang lain, tapi kurasa ia tak perlu menyimpannya. Awalnya aku memang tidak curiga terhadap hal itu. Sampai kutemukan bahwa ia juga mungkin kerap meminjam buku-buku catatan Hanina. Lalu barusan, ia muncul begitu saja di samping Hanina.

Zuhud orang Jakarta, di sini ia tinggal di tempat kost. Maka makin besar peluangnya untuk sering bertemu Hanina. Kecurigaanku semakin menjadi. Jangan-jangan dia...

Astaghfirullah. Kenapa aku berpikir begitu? Segera kuselesaikan mengepel lantai, lalu berwudhu. Kutendang jauh-jauh bayangan Zuhud. Sementara Hanina, kutitipkan bayangnya pada Pemilik sujud-sujudku.

Dalam Sujud Kutitip CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang