6

1.8K 66 1
                                    

(Kautsar)

    Aku selalu menyukai pohon-pohon ketapang yang tumbuh di halaman gedung dekanat kami. Ada musimnya di mana daun-daun tersebut memunculkan gradasi warna hijau hingga cokelat kemerahan. Lalu puncaknya, biasanya di musim panas saat hujan mulai jarang datang, hampir semua daun di pokoknya menjadi merah menyala. Seperti hari ini.

    Aku sedang duduk-duduk saja di depan masjid selepas kuliah, ketika Hanina melintas. Dia, berkerudung merah marun, dengan latar belakang pohon-pohon ketapang yang menyala, adalah pemandangan yang sempurna.

    Daniel berdeham. Aku tersadar. Pura-pura kugosok kedua mataku. Kulepas kaca mata dan kubersihkan dengan ujung kemeja.

    “Ayo Akh, azan,” ujarnya.

    “Sesekali kau saja yang azan, Dan. Orang mungkin bosan mendengar suaraku,” aku mencoba mengelak. Aku masih ingin duduk di sini sebentar.

    “Ayolah, kalau ada yang lebih baik, kenapa harus aku?” Daniel menyeringai.

    Aku mengeluh dalam hati. Tapi kuikuti juga langkahnya ke dalam masjid. Ayolah, Hanina, sudah waktunya sholat. Berhentilah mondar-mandir dan cepatlah ke masjid.

    Dan ternyata Hanina memang segera ke masjid. Rupanya selepas dzuhur ia dan tim jurnalistiknya akan mengadakan rapat. Bagian depan hijab sudah digeser sedikit untuk memberi tempat bagi pemimpin rapat hari ini, Zuhud.

    Zuhud Abdillah. Dia mungkin representasi yang sempurna dari sosok seorang aktivis dakwah kampus. Vokal, pandai beretorika, pemikiran-pemikirannya tajam walaupun dalam menyampaikan pandangannya terkadang sedikit keras. Penampilannya selalu rapi, menunjang postur yang tinggi dan atletis, dan dari penampakan tempat kostnya yang kemarin kusinggahi, aku yakin ia termasuk kalangan yang cukup berada. Ini diperkuat dengan keberadaan sebuah mobil mungil di pelataran tempat kost itu. Mobil itu miliknya.

    Zuhud pesaing kuat Daniel dalam pemilihan ketua DKM yang lalu. Ia kalah suara sedikit saja dibandingkan Daniel. Walaupun demikian, ia menolak kursi sekretaris dan justru mengajukan dirinya memimpin divisi jurnalistik. Divisi yang sudah hampir pasti diisi oleh Hanina. Karena memang itulah bidang kesukaan Hanina.

Singkat kata Zuhud adalah seorang ikhwan yang baik, ramah, cukup kaya, hafalan qurannya kuat, sopan, senang membantu, dan selalu menjaga pandangan saat bertemu akhwat. Sempurna sekali.
Yang tidak sempurna adalah, ia di sini, dan ada Hanina di balik hijab hijau itu.

Aku kembali teringat foto-foto di komputer Zuhud. Juga pada buku Hanina yang ia pinjam. Karena itulah, kuputuskan untuk mengamati rapat mereka kali ini.

                                            ***

(Hanina)

    Biasanya kami membuka rapat dengan pembacaan beberapa ayat alquran terlebih dahulu. Zuhud tampak membuka mushaf kecilnya, mencari sebuah halaman untuk dibaca. Namun ia tampak mengurungkan niat. Pandangannya menyasar ke arah para ikhwan di balik hijab hijau yang membatasi wilayah ikhwan dan akhwat.

    “Ah, kebetulan ada Akh Kautsar, boleh kami minta antum tilawah? Sekalian saja antum bergabung dengan rapat kami, agar tahu apa saja yang dilakukan divisi jurnalistik. Barangkali juga antum ingin memberi masukan. Sedang tidak ada kelas kan? Bagaimana?’ tanya Zuhud.

    “Tidak usah, silakan saja. Saya menyimak saja dari belakang.” Suara itu! Jantungku kembali berdebar kencang.

    “Ayolah Kang, beberapa ayat saja,” suara ikhwan yang lain mendesak.

    "Lho, kan sama saja siapapun yang tilawah," Kautsar masih mengelak.

    “Tolong dipercepat, ikhwan!” seru Namira tegas. Aku meliriknya. Gadis itu mengangkat alisnya seakan bertanya, kenapa, apa aku salah?

    Tidak. Hanya saja, jangan segalak itu padanya. Tapi tentu saja hal itu hanya kuucapkan dalam hati. Aku berharap Zuhud membiarkan Kautsar pergi. Keberadaannya di rapat ini hanya akan membuatku sulit untuk bersikap wajar.

    Namun ternyata Kautsar mengalah. Ia mulai membaca taawudz dan beberapa ayat dari surat As Shaff. Seperti biasa, mengalir lembut dan syahdu. Setelah selesai membacakan ayat quran, tak kudengar ia berpamitan. Jadi kurasa ia tetap berada di sana mengikuti rapat kami, seperti ajakan Zuhud tadi.

    Maka di sepanjang rapat hari itu, berkali-kali harus kutenangkan diri sendiri. Jari-jari tanganku dingin, dan bicaraku tersendat-sendat.

   Berkali-kali Namira melirikku dengan tatapan heran. Dan Zuhud, memanggilku berkali-kali untuk memastikan perhatianku masih berada dalam rapat itu, karena sikapku yang banyak membisu.

***

(Kautsar)

Setengah hati aku menyimak rapat divisi jurnalistik. Mereka tengah membahas majalah edisi bulan depan. Zuhud dan Namira banyak berbicara. Hanina menanggapi sesekali. Suaranya yang lembut seperti percikan air yang membasahi hatiku.

Aku merasa berada dalam dilema. Di satu sisi aku ingin tetap ada di sini hanya untuk sekadar mendengarkan Hanina, di sisi lain aku sadar apa yang aku lakukan hanya menjerumuskanku dalam perasaan yang semakin lama semakin jauh.

Berkali-kali Zuhud seperti ingin melibatkan Hanina dalam diskusi. Tapi Hanina, seperti itulah dia, hanya akan terlibat jika ia ingin. Mungkin saat ini moodnya sedang tak bagus karena sejak tadi ia hanya banyak diam.

"Jadi kita sepakat rubrik ini diisi oleh Akh Daud? Benar begitu, Hanina?" tanya Zuhud lagi. Pandangannya terarah ke akhwat di sebalik hijab. Senyumnya terkulum, tatapannya tertuju pada seseorang. Pasti Hanina. Dan caranya menatap seperti itu, sungguh menggangguku.

(Bersambung)

Dalam Sujud Kutitip CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang