17

3K 91 24
                                    


(Hanina)

“Dia ikhwan yang baik, Hanin. Dan niatnya tulus. Tiba-tiba saja ia datang dan menyatakan ingin taaruf denganmu. Kalau aku jadi kau, aku akan sangat bahagia,” ujar Namira lembut.

“Aku tahu dia orang baik, Mir. Tapi… Entahlah,” sahutku pelan. Aku menghindari tatapannya.

“Memangnya apa lagi yang kau cari? Semua kriteria ikhwan idaman ada padanya, kan? Soleh, insyaallah. Mapan, pemahaman agamanya cukup, akhlaknya baik, good looking.”

“Dia terlalu baik untukku,” sahutku.

Namira menatapku dengan ekspresi lelah. “Begitukah? Dan Kautsar? Dia tidak terlalu baik untukmu?”

Aku memejamkan mata dan menghela napas panjang. “Ya Allah, Mir… Tolong jangan mendesakku.”

Namira terdiam. Kupikir ia mungkin iba padaku.

“Aku harus bagaimana?” aku bertanya padanya.

“Beri saja dia kesempatan, Hanin. Jika niatmu menikah memang karena Allah, menjaga diri, menggenapkan separuh agamamu, maka aku rasa…” Namira menghentikan kata-katanya.

“Apa?” tanyaku.

“Kurasa, cinta akan datang menyusul,” ucap Namira lembut.

“Tapi….” Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Rasanya aku ingin menangis. Ingin sekali aku katakan padanya, aku tidak ingin bersama orang yang tidak aku cintai.

Namun tak kukatakan semua itu. Ia pasti tahu.
Maka untuk kesekian kalinya aku hanya bisa bertanya-tanya dalam hati. Ya Allah, mengapa Engkau ciptakan perasaan ini, jika bukan untuk dimiliki?

***

(Kautsar)

“Barakallah Akh, selamat ya,” Daniel menyalamiku setelah aku keluar dari ruang sidang.

“Alhamdulillah,” sahutku gembira. “Ayo, kau juga segeralah lulus.”

“Siap, aku pasti segera menyusulmu. Insyaallah.”

“Bagaimana tadi Bu Riska?” tanya Irfan, temanku yang lain. Bu Riska terkenal galak dan senang menjatuhkan mental mahasiswa yang sedang diujinya.

“Alhamdulillah tadi beliau tidak semenakutkan yang diceritakan para senior. Asalkan kita bisa menjelaskan dengan baik, Bu Riska bisa menerimanya kok,” jelasku.

“Ciyeee, S. Si. Nih yeee,” suara Namira terdengar di belakangku.

“Eh, Mir,” aku menoleh. Kucari-cari sosok seseorang di belakangnya. Tapi tak ada. Tentu saja. “Alhamdulillah. Kamu kapan?”

“Insyaallah bulan depan,” sahut Namira. “Doakan ya.”

“Siap!” sahutku.

“Sar, bisa aku bicara sebentar?” tanya Namira.

“Ya. Tentang apa?”

Namira tampak tak nyaman.

“Baiklah, kutunggu di masjid ya Akh,” Daniel menepuk pundakku. Ia kemudian berlalu bersama Irfan.

“Ada apa sih Mir?” tanyaku heran.

“Ada orang yang ingin taaruf dengan Hanina, Sar.”

Deg! Jantungku berhenti sesaat. Tapi tunggu, sebelumnya Namira juga pernah melontarkan lelucon seperti ini.

Aku tertawa. “Sudahlah Mir, aku tidak akan tertipu lagi. Lelucon yang bagus. Jadi begini caramu memberikan selamat pada seorang teman yang baru lulus sidang sarjana?”

Dalam Sujud Kutitip CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang