(Hanina)
Kupikir ide Namira untuk meminta bantuan Zuhud sungguh tidak tepat. Terutama setelah apa yang ia keluhkan tadi, bahwa ia merasa Zuhud lebih memperhatikan aku ketimbang anggota divisi lainnya. Aku jadi merasa tak enak.
Tetapi Namira mendesakku, mengatakan bahwa jauh lebih aman pergi bersama Zuhud ketimbang memakai taksi di saat malam hampir larut seperti ini.
Jadi begitulah, Namira menelepon Zuhud, menceritakan secara singkat musibah yang dialami Teh Sofi dan Pak Rangga, lalu menanyakan apakah ia bisa mengantar kami atau tidak. Dan Zuhud langsung menyanggupi.
Kami bermobil dengan gelisah. Aku mencemaskan Teh Sofi yang sedang mengandung.
"Maaf kami merepotkanmu," kataku pada Zuhud. Aku duduk di belakangnya, sementara Namira di sisiku.
"Tidak merepotkan," sahutnya tenang. "Ane senang anti menghubungi ane."
Namira mencubit lenganku. Ia mencondongkan tubuh ke arahku dan berbisik, "Bukannya aku yang menghubungi dia tadi?"
Aku menyikutnya. "Itu kan sama saja!" Bisikku kesal.
Namira memutar bola matanya. "Kamu nggak peka," bisiknya lagi.
Aku bisa melihat Zuhud melirik ke arah kami melalui spion. Aku khawatir ia mendengar bisik-bisik kami, jadi aku memberi isyarat pada Namira untuk diam.
Halaman rumah sakit sudah sepi. Hanya beberapa mobil terparkir di sana. Mungkin milik keluarga pasien rawat inap. Zuhud memarkirkan mobil di bagian terdekat dengan lobby.
"Mereka pasti masih di UGD kan?" tanya Namira.
"Kurasa begitu. Sebentar, coba kulihat apakah ada kabar lagi atau tidak." Aku memeriksa ponselku, meneliti pesan-pesan yang masuk.
"Belum ada kabar lagi, kurasa mereka masih di sana," aku memberi tahu Namira. Aku sedikit kaget ketika pintu di sampingku dibuka dari luar. Zuhud yang melakukannya.
Bola mata Namira melebar. "He is a real gentleman," bisiknya.
Aku mulai curiga bahwa sebenarnya ia jatuh cinta pada Zuhud.
***
(Kautsar)
Sudah lewat pukul sembilan malam. Rumah sakit semakin sepi. Daniel dan aku duduk agak jauh dari pintu UGD. Di ujung sana, di bangku paling dekat dengan pintu, Teh Sofi duduk bersandar seraya menutupi wajahnya dengan ujung jilbab. Sejak tadi ia tak berhenti menangis.
Dua orang tuanya tampak bergantian menenangkan, seraya sesekali masuk ke ruang UGD untuk menemui dokter, serta memantau kondisi Bang Rangga. Dua akhwat yang tampak senior, maksudku seangkatan dengan Bang Rangga dan Teh Sofi, merangkulnya seraya terus menerus berbisik menguatkan.
Di dalam sana, Bang Rangga masih belum sadar. Sedangkan Teh Sofi sendiri walaupun sedikit luka-luka, namun ia dan bayi dalam kandungannya baik-baik saja. Keduanya mengalami kecelakaan motor ketika Bang Rangga berusaha menghindari mobil boks berkecepatan tinggi yang berjalan oleng ke arah mereka. Motor mereka menabrak pohon, Teh Sofi jatuh terguling dan Bang Rangga yang helmnya terlepas saat kejadian, kepalanya membentur trotoar.
"Apa kita akan menunggu di sini sampai Bang Rangga sadar?" tanya Daniel dengan suara pelan. "Sebenarnya, aku ada tugas kuliah yang belum selesai kukerjakan."
Aku bimbang. Sudah larut malam dan esok aku juga harus menemui dosen pembimbing untuk mendiskusikan proposal usulan penelitianku. Draft itu belum sempat kuprint.
"Kita tunggu sebentar lagi, Dan," jawabku. "Nanti kuantar kamu ke tempat kost."
Daniel mengangguk. Namun matanya tertuju ke arah pintu di ujung koridor. Kuikuti arah pandangannya.
Aku hampir tak percaya. Itu Hanina. Masuk melalui pintu itu dengan wajah pucat. Disusul Namira. Lalu Zuhud. Kegembiraan sesaatku langsung menguap melihat sosok yang terakhir itu.
Hanina dan Namira memeluk Teh Sofi. Mereka berangkulan sambil menangis, lalu berbicara dengan orang tua Teh Sofi dan akhwat-akhwat senior tadi. Sementara Zuhud menghampiri Daniel dan aku.
"Bagaimana Bang Rangga?" tanya Zuhud padaku.
"Belum sadar," jawabku.
"Apa kalian hanya bertiga?" tanya Daniel pada Zuhud. Maksudnya tentu terkait kedatangannya bersama Hanina dan Namira.
"Ya. Tadi mereka menghubungi ane, menanyakan apakah ane bisa mengantar ke rumah sakit. Kebetulan ane sedang senggang. Lagipula ane ingin tahu keadaan Bang Rangga," papar Zuhud.
Aku mengerti alasan Hanina menghubungi Zuhud. Itu karena Honda Jazz putih yang biasa digunakan dalam berbagai kegiatan DKM. Mobil itu sebenarnya milik orang tua Zuhud, namun biasa ia gunakan untuk bolak-balik Jakarta Jatinangor. Zuhudpun cukup murah hati, selalu menyediakan diri dan mobilnya bila diperlukan untuk membantu berbagai kegiatan DKM.
Zuhud, mobilnya, dan kenyataan bahwa Hanina menghubungi Zuhud untuk meminta bantuannya, sungguh terasa menyakitkan.
"Sepertinya ane perlu ke toilet," ujar Zuhud. Ia menoleh ke kiri dan kanan mencari penunjuk letak toilet.
"Di ujung sana, belok kanan," Daniel memberi tahu.
"Oh, syukran." Zuhud berlalu, menyusuri lorong, lalu menghilang di ujungnya.
Namira berjalan menghampiri Daniel dan aku. Hanina mengekor. Ia terlihat canggung. Aku? Entahlah. Sepertinya saat ini pesona Hanina sedang tidak terlalu mempengaruhiku. Hatiku masih sakit.
"Apa kalian akan menunggui Pak Rangga di sini?" tanya Namira.
"Tidak, sebentar lagi kami pulang." Jawab Daniel. "Mungkin besok setelah kuliah kami kemari lagi."
"Kalian juga sebaiknya segera pulang," kataku. Sebenarnya lebih kutujukan pada Hanina. "Sangat tidak pantas akhwat bepergian malam-malam dengan orang yang bukan mahramnya."
Hanina tampak terkejut mendengar kata-kataku. Matanya yang bulat sedikit membelalak. Tapi hanya sesaat. Kemudian berkabut.
"Kan tidak pergi berduaan," Namira membela diri. "Lagipula aku yang meminta Zuhud mengantar kami. Kenapa Hanina yang kamu marahi?"
Benarkah? Jadi bukan Hanina yang menghubungi Zuhud? Aku langsung merasa menyesal. "Aku tidak memarahinya."
"Kamu berkata seperti itu tadi, dan matamu jelas tertuju pada Hanina."
"Aku hanya mengingatkan."
"Teh Sofi itu sahabat kami, jadi wajar kalau kami ingin menjenguknya." Namira bersikeras.
"Ya, tapi ini sudah larut malam."
"Ssst, sudah," bisik Hanina keras pada Namira. "Ayo, kita pulang." Ia berbalik dan melangkah pergi. Tak seperti yang sudah-sudah, kali ini ia tak memberi salam.
"Tapi, Zuhud... " Namira celingukan mencari Zuhud.
Hanina tak peduli. Ia mendekati Teh Sofi, tampak seperti berpamitan. Namira tergesa menyusulnya. Hanina melangkah lagi, mengabaikan Namira. Ia lalu berbelok keluar pintu tanpa menoleh lagi.
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Sujud Kutitip Cinta
RomanceSudah terbit full versi Dalam Sujud Kutitip Cinta by Vee Ulfia 😍 bisa diperoleh di google playbook yaa kakak2 yang baik 😊 Makasiii 😊🙏