13

1.3K 58 0
                                    

(Hanina)

    Aku menyusuri jalan setapak kecil di ujung arboretum yang mengarah ke jalan raya menuju gedung jurusanku. Semak-semak Mimosa dan ilalang berebut tempat di sepanjang  pinggir-pinggirnya. Sebatang pohon Delonix regia di ujung sana menarik perhatianku. Delonix regia, atau flamboyant, adalah tumbuhan yang indah. Batangnya besar dan kuat, dahan-dahannya kokoh, menopang kanopi hijau yang lebar dan rimbun. Ada musimnya di mana kanopi hijau itu berganti menjadi jingga kemerahan, saat daun-daun flamboyant berguguran diganti bunga-bunga kecil yang merona dengan megah. Seperti saat ini.

    Mengamati keindahan pohon itu bisa membuat orang lupa untuk menarik napas sejenak. Di samping gedung jurusanku juga ada, tapi yang ini bunganya banyak sekali. Memandangi puncaknya yang merah menawan, membuatku tidak memperhatikan jalan.

    “Oh!” Aku terkejut mendapati seseorang tiba-tiba berdiri di depanku. Dan rasanya seperti tersengat listrik, ketika kusadari siapa sosok itu. Kautsar. Jelas tidak mungkin bagiku untuk pura-pura tidak melihatnya.

    “Assalamu alaikum,” katanya.
   
    “Waalaikum salam,” sahutku pelan. Seperti biasa, jantungku seakan bergemuruh. Aku sengaja menyingkir agar ia bisa lewat. Tapi ia diam saja di sana.

    Aku mendongak, menatapnya heran. Ia tak memandangku, matanya memandang satu titik di depan yang entah apa dari balik kaca matanya.

    “Apa kau mau lewat duluan?” Aku mencoba bertanya dengan nada biasa-biasa saja.

    Namun ia masih diam di sana. “Aku ingin minta maaf, soal kejadian tempo hari. Maaf kalau kata-kataku membuatmu tersinggung,” katanya pelan.

    Diam-diam, kutarik napas panjang, agar gemuruh jantungku bisa sedikit tenang. “Tidak apa.” Sahutku cepat. Lalu aku sadari bahwa ini pertama kalinya ia menyebut ‘aku’ dan ‘kamu’ dalam percakapannya denganku, bukan ‘ane’ dan ‘anti’.

    “Aku mengatakan itu spontan, tidak berpikir terlebih dahulu,” ujarnya lagi. “Melihatmu pergi bersama ikhwan, bisa membuat orang berprasangka buruk. Makanya waktu itu aku langsung berkata begitu. Maaf kalau caraku tidak tepat.”

    Aku tersentuh. Ya Allah, mengapa aku harus bertemu orang ini di sini? Padahal sejak kejadian di rumah sakit itu, aku berusaha mengindarinya. Kata-katanya ‘sangat tidak pantas seorang akhwat bepergian malam-malam dengan orang yang bukan mahramnya,’ itu sungguh menamparku. Walaupun kata-katanya itu benar, namun aku tak mengira ia akan mengucapkannya padaku.

    Tapi ada hal lain yang sering terlintas di pikiranku sejak peristiwa itu. Bahwa ia bersikap begitu karena ia peduli padaku. Dan pikiran ini jauh lebih mengganggu ketimbang kekagetanku mendengar kata-katanya. Mengganggu, karena wajahku akan terasa panas, lambung seperti diremas-remas, jantung berdebar kencang. Akhwat mana yang tidak akan berbunga-bunga jika diperhatikan? Maka alasan terbesarku menghindarinya belakangan ini adalah untuk sedikit menetralkan  perasaanku.

    “Tidak apa-apa. Aku tidak tersinggung,” jawabku. “Yang kau katakan itu benar. Terima kasih sudah mau menegurku.”

    Aku menunggu barangkali ia masih ingin mengatakan sesuatu, namun ternyata ia diam saja. Beberapa saat lamanya kami hanya diam mematung. Burung-burung yang mencicit di puncak flamboyant menyadarkanku. “Ehm, kalau ada yang melihat kita di sini, aku rasa orang bisa berprasangka buruk.”

    Ia seperti tersadar. “Ya, kau benar. Maaf membuatmu kaget tadi. Aku kebetulan melihatmu jadi kupikir sekalian saja, dari kemarin sebenarnya aku ingin minta maaf. Tapi kita tidak pernah bertemu.”

    Aku mencoba tersenyum. Namun tetap terasa canggung. “Baiklah, aku mau ke jurusan.”

    “Oh, ya. Silakan.” Kautsar menepi, memberiku jalan agar bisa lewat.

    Memang selalu hanya seperti ini saja pertemuan kami. Tidak seharusnya aku merasa ge-er dengan sikapnya yang seakan penuh teka-teki. “Aku duluan ya, assalamu alaikum.”

    “Waalaikum salam.”

    Aku berjalan melewatinya. Satu dua mahkota flamboyan menerpa wajahku.

    “Aku menegurmu karena aku khawatir.”

    Kata-katanya sangat pelan di belakangku. Seperti angin yang melewatiku ketika aku berjalan. Aku berhenti dan menoleh. Tapi ia sudah berjalan pergi.

    Apakah aku salah dengar? Aku ingin memanggilnya, tapi akal sehatku menyuruhku bungkam. Hatiku terasa sesak, dipenuhi perasaan yang aku tahu seharusnya aku hindari. Aku hanya bisa memandangi punggungnya menjauh, daun-daun dan bunga flamboyan melayang berguguran di sekitar kami. Aku merasa pemandangan ini akan abadi, sampai air mata mengaburkan pandanganku.

    Tuhanku, aku harus bagaimana? Semakin kutekan perasaan itu semakin menyakitkan. Mustahil pula mengabaikannya. Ya akhi, tega sekali kau membuatku merasakan gejolak ini?

(Bersambung)

Dalam Sujud Kutitip CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang