15

1.3K 57 0
                                    

(Hanina)

    Namira dan aku kebetulan bertemu di kantin, lalu kami memesan makanan dan duduk bersama. Tak lama, seorang adik angkatan bergabung di meja kami. Asiya namanya.

    Kantin tidak terlalu ramai, mungkin karena sudah lewat pukul dua siang. Hanya meja di sudut ruangan dan meja di belakang kami yang terisi oleh beberapa mahasiswa.

    “Teh Hanin, Teh Namira, sudah lama sekali nggak lihat Teteh berdua. Kangen deh bisa seperti dulu lagi,” ucap Asiya dengan nada gembira yang tulus. “Divisi jurnalistik sekarang sepi lho, Teh. Kehilangan para sesepuh.”

    “Sesepuh?” Namira pura-pura tersinggung. “Nggak sekalian leluhur?”

    “Maksudnya senior, Tetehku sayang,” ralat Asiya seraya nyengir.

    “Bisa saja kamu, As,” sahutku. “Teteh lihat kemarin sudah berjalan dengan baik kok. Majalahnya juga sudah cukup bagus.”

    “Iya, tapi kami kangen, Teh,” ujar Asiya. “Kenapa sekarang jarang datang ke masjid? Ke Keputrian juga?”

    “Ya, memang sudah masanya, As,” jawab Namira. “Sekarang masanya kalian menggerakkan dakwah kampus. Bagi kami, sekarang masanya memperjuangkan amanah orang tua kami, untuk segera lulus dari sini.”

    Asiya tersenyum. “Lalu menikah ya Teh?”

    Seandainya semudah itu, pikirku. Lulus lalu menikah.

    “Kalau Teteh sih, yang mana yang duluan, boleh saja. Lulus baru nikah, boleh. Nikah dulu baru kemudian lulus, juga boleh,” canda Namira.

    Asiya tertawa cekikikan bersama Namira. Lalu ia menatapku. “Kalau Teh Hanina?”

    Aku pura-pura berpikir.

    “Hanina sih sudah siap, tinggal menungu ada yang melamar saja. Apalagi kalau orangnya pandai mengaji, suaranya merdu, kalau sedang membaca quran orang yang mendengar hatinya merasa tersayat-sayat dan ingin mencurahkan air mata,” ujar Namira.

    “Masyaallah.” Lalu bola mata Asiya tampak bersinar nakal. “Benar begitu Teh Hanin? Seperti para hafiz yang suaranya merdu di televisi itu ya.”

    Di kolong meja, kusepak kaki Namira kesal. “Suara yang merdu saat membaca Alquran adalah karunia Allah. Tapi yang lebih penting, sejauh mana seseorang itu bisa menerapkan nila-nilai Alquran dalam dirinya.”

    Asiya terdiam sesaat. Namira juga. Saat itu aku merasa kelompok mahasiswa di belakangku berdiri dari bangku mereka dan mulai beranjak. Mereka berlalu di depan kami. Kemudian baru kusadari salah satu dari tiga mahasiswa itu adalah dia, sedang menenteng helm semut merahnya.

    Jantungku serasa berhenti sesaat. Aku berusaha untuk mengabaikan sosok jangkung yang baru saja melewati meja kami itu.

    Namira menahan senyumannya, menatapku polos. Aku hanya bisa membalasnya dengan melotot kesal. Apakah Kautsar tadi mendengar percakapan kami?

    Kautsar. Jantungku masih sering berdebar jika mengingatnya. Setelah percakapan terakhir kami di dekat pohon flamboyan itu, kami semakin jarang bertemu. Beberapa kali berpapasan di Gedung Dekanat, perpustakaan, pangkalan Damri, namun tak pernah lagi ia menyapaku.

    Sesekali, saat aku sedang berada di laboratorium, kudengar suaranya mengumandangkan azan. Tapi itupun semakin jarang. Kata Namira, semua itu karena Kautsar sedang menyelesaikan penelitiannya di Bandung, sehingga ia makin jarang ada di Jatinangor.

    Tak bisa kupungkiri, rasa sedih kerap menyergapku setiap kali aku mengingatnya. Tapi mungkin yang kurasakan ini hanya perasaaan yang tak bersambut. Aku telah jatuh cinta pada waktu yang salah. Pada orang yang belum tepat. Maka akhirnya aku menyerah, kucoba menitipkan perasaan itu kembali pada-Nya, Yang Maha Memiliki Cinta.

    Mungkin semuanya akan berlalu begitu saja. Aku akan segera lulus, begitu pula dengannya. Lalu takdir akan membawa kami menempuh jalan masing-masing. Mungkin memang akan seperti itu, tapi jauh di dalam hatiku, aku masih merasa tak rela.

    Namira menyepak sepatuku, menyadarkanku dari lamunan sesaat. Asiya kembali berceloteh mengenai divisi jurnalistik.

    “Kendalanya begitu sih, Teh. Kami butuh referensi lebih banyak sebenarnya,” keluh Asiya.

    “Coba kalian hubungi Zuhud,” saran Namira.

    “Kami kesulitan menghubungi Kang Zuhud, Teh. Sepertinya nomor handphonenya sudah tidak aktif ya? Beberapa ikhwan mencari ke tempat kostnya tapi Kang Zuhud tidak ada.”

    “Oh ya?” tanyaku heran. Jika kuingat-ingat, memang sudah lama aku tak pernah melihatnya.

    “Masa kamu tidak tahu? Kamu kan satu jurusan dengannya?” tanya Namira.

    Aku meringis. “Ya, tapi…. Sekarang memang sudah jarang angkatan kami yang ke kampus. Sebagian besar sedang mengerjakan tugas akhir. Kupikir Zuhud juga sama.”

    “Dia tidak bisa dihubungi,” ujar Namira. “Ke mana dia?”

    Aku juga tidak tahu.

Dalam Sujud Kutitip CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang