(Kautsar)Periode kepengurusan Daniel sudah selesai. Baru saja Daniel dan aku menyampaikan laporan pertanggungjawaban. Dengan demikian, berakhirlah masa-masa menyenangkan yang dipenuhi agenda dakwah kampus dan berbagai kesibukannya. Bagi angkatan kami, sekarang saatnya mewujudkan misi selanjutnya, gelar sarjana.
Aku baru saja memundurkan motorku dari tempat parkir, ketika Namira melintas sendirian. Ya, dia tidak bersama Hanina. Dalam sidang pertanggungjawaban tadi, Hanina tak datang. Divisinya hanya diwakili oleh Zuhud dan Namira saja.“Sendirian, Mir?” aku menyapanya.
Namira berhenti melangkah. “Ya,” jawabnya singkat.
“Ke mana sahabatmu?” tanyaku dengan nada sewajar mungkin.
Namira diam mengamatiku. “Kenapa kamu mencarinya?”
“Ya, biasanya kan kalian seperti ban sepeda, ke manapun berdua,” selorohku.
“Dia pulang,” sahut Namira. “Ke Depok.”
“Oh ya? Di saat sedang tidak libur seperti ini? Memangnya ada apa?” aku merasa heran. Jangan-jangan ia sedang mengalami masalah.
“Hanya ingin pulang saja katanya. Mungkin juga karena ada yang harus ia bicarakan dengan ayahnya. Kudengar ada ikhwan yang mengajaknya taaruf.”
Rasanya seperti disambar petir. Ternyata kekhawatiranku selama ini terjadi juga. Siapa orang itu, yang berani mengajaknya taaruf?
Namira tersenyum lebar. Lambat laun senyumnya berubah menjadi tawa lepas. Kadang kupikir akhwat satu ini agak preman. Segala kelembutan yang biasanya tergambar pada diri seorang muslimah, tidak ada pada diri Namira. Dia dan aku satu jurusan, makanya aku tahu betul perangainya yang tomboy.
“Kenapa?” tanyaku pura-pura tak acuh.
“Aku bercanda,” ujar Namira setelah puas tertawa. “Dia pulang karena ayahnya sakit. Bukan karena mau taaruf.” Dia memberi penekanan pada kata taaruf.
“Rasulullah bilang boleh bercanda, tapi tidak boleh berbohong,” gerutuku. Diam-diam aku merasa lega karena alasan Hanina pulang bukan karena akan taaruf dengan seorang ikhwan. “Ayahnya sakit apa?”
“Terjatuh saat mengendarai sepeda motor,” kata Namira lagi.
“Benarkah? Bagaimana keadaannya?”
“Katanya sih hanya terkilir. Tapi Hanina tetap ingin menjenguk ayahnya. Dia dan ayahnya sangat dekat. Kamu tahu kan, Hanina sudah tidak punya ibu?”
Aku mengangguk. Ya, keadaan kami mirip. Ia sudah tidak mempunyai ibu, sedangkan aku sudah tidak berayah.
“Kalau kau mau ke sana, bawalah juga orang tuamu,” celetuk Namira.
“Tidak mungkinlah Mir,” sahutku cepat. “Tidak sekarang.”
“Kalau kau belum mampu menikah, jangan pernah berani menumbuhkan harapan dalam hati seorang wanita.”
Rasanya agak lucu mendengar kata-kata bijak itu keluar dari mulut Namira yang cuek. Tapi apa katanya tadi? Menumbuhkan harapan? Apakah benar Hanina mengharapkan sesuatu dariku?
Maka kutanyakan itu pada Namira. “Apakah Hanina….”
Namira menggeleng, menyela pertanyaanku. “Tidak, tidak, sudah cukup. Aku berjanji pada Hanina tidak akan mengatakan apapun tentangnya padamu.”
“Kenapa?”
“Karena,” Namira berhenti sebentar. “Karena kau masih bukan siapa-siapa bagi Hanina, Sar. Kalian hanyalah orang lain bagi satu sama lain. Seperti katamu, bukan mahram.”
Kata-kata Namira menusukku. Tapi ia benar. Sebenarnya sejak kejadian di rumah sakit itu, Namira terus menyindir dan mengusikku. Walau tak ada satu kata pengakuanpun terucap dari mulutku, namun ia bisa menyimpulkan sendiri.
“Mir,” ucapku ragu.
Namira menaikkan alisnya.
“Bisakah kau katakan padanya untuk menungguku.” Aku tak tahu mengapa kukatakan ini pada Namira. Tapi kata-kata yang sudah terucap itu tak mungkin kutarik lagi.
“Tidak. Aku tidak mau.” Sahut Namira kejam. “Memintanya menunggumu, tanpa kepastian waktu, hanya akan mengotori hati kalian. Lalu apalagi yang kau harapkan dari hati yang sudah keruh?"
Lagi-lagi Namira benar. Aku hanya terdiam. Pilihanku hanya dua, menyimpan perasaanku dan berharap Allah menjagakan Hanina untukku sampai waktunya tiba, atau sekalian saja aku membunuh perasaan itu.
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Sujud Kutitip Cinta
RomanceSudah terbit full versi Dalam Sujud Kutitip Cinta by Vee Ulfia 😍 bisa diperoleh di google playbook yaa kakak2 yang baik 😊 Makasiii 😊🙏