(Hanina)“Memangnya kamu sudah siap menikah, Nin?” pertanyaan Namira menohokku.
“Apa maksudmu?” aku pura-pura tak mengerti. Padahal jantungku serasa berhenti berdetak. Kami sedang mengerjakan editing majalah untuk bulan depan, ketika tiba-tiba ia menanyakan hal itu.
“Habisnya, kulihat kalian berdua dekat sekali,” gumam Namira. Matanya seakan menembusku.
“Oh ya? Siapa?" tanyaku hati-hati.
"Orang yang kemarin itu," sahut Namira. "Yang menemuimu waktu aksi demo."
"Kenapa kamu berpikir begitu?” aku masih meraba-raba, dari mana Namira tahu mengenai Si Semut Merah. Rasanya aku belum pernah menceritakan apapun padanya.
“Buktinya kemarin itu…”
“Masyaallah Mir, kemarin itu kebetulan saja kami bertemu,” tukasku cepat. Aku bingung, tahu dari mana dia, kalau aku bertemu dengan Kautsar?
“Bukan kebetulan, Hanin, kurasa dia memang memperhatikanmu,” ujar Namira dengan ekspresi serius.
Benarkah? Hatiku melambung. Tapi hal ini harus diperjelas lagi. Aku tidak boleh ge-er duluan.
“Aku tidak merasa begitu,” sahutku. “Kurasa dia selalu bersikap baik pada siapa saja. Mungkin dia hanya kasihan karena melihatku sendirian. Lagipula, itu terjadi karena kalian meninggalkan aku naik bus duluan. Aku jadi menunggu lama di sana, sendirian.”
Namira mengerutkan kening. “Meninggalkanmu naik bus duluan?”
“Iya.” Sahutku ketus. "Makanya orang itu mendatangiku."
“Maksud kamu apa sih? Kami kan sudah minta maaf karena nggak sengaja meninggalkanmu, Hanin. Tapi bukan itu yang ingin aku katakan tadi. Orang itu? Siapa?” Namira menatapku heran.
Oh, jadi bukan itu yang dia maksud? Aku merasa sedikit kecewa.
“Tunggu dulu, kayaknya kamu menyembunyikan sesuatu deh, dariku?” Kedua mata Namira bersinar nakal.
“Tidak,” aku berusaha mengabaikannya, mengembalikan fokus pada naskah kami.
“Jadi kamu kemarin bertemu seseorang setelah aksi? Ya ampun, aku setengah mati mengkhawatirkanmu karena tertinggal bus, ternyata kamu malah janjian dengan seseorang? Apa dia ikhwan?” Namira mengejarku tanpa ampun.
“Aku nggak janjian, Mira. Kemarin aku sedang menunggu bus sendirian, lalu orang itu datang. Kami hanya mengobrol sedikit sampai busku datang. Lalu aku pergi, dan dia juga pergi.”
“Lalu?” tanya Namira dengan nada penasaran.
“Tidak ada lalu. Sudah selesai. Titik.”
“Siapa? Zuhud ya?” Namira menatapku curiga.
“Zuhud?” aku menatapnya heran. Kok bisa dia melibatkan nama Zuhud?
Namira mengangguk. “Yap! Kemarin juga dia yang melindungi kamu waktu ada polisi datang membawa pentungan.”
Oh, ya, itu benar. Tapi bukan dia yang kumaksud, Mira.
“Dan dia selalu memperhatikan kamu, Hanin. Bahkan dalam setiap rapat divisi, dia selalu menunggu persetujuanmu sebelum membuat keputusan. Pendapat anggota yang lain seakan hanya pelengkap saja. Tapi pendapatmu, selalu ia dengarkan.” Nada bicara Namira kini lebih terdengar seperti keluhan ketimbang sekadar informasi.
Wah, ini hal yang baru bagiku. “Oh ya?”
Namira diam, mengamatiku.
“Kurasa itu hanya perkiraanmu saja, Mir. Aku sama sekali nggak merasa seperti itu,” tukasku. Kulihat ia seperti sedang memikirkan jawabanku.
“Lalu? Kalau bukan Zuhud, siapa?” Namira belum menyerah.
“Bukan siapa-siapa,” sahutku ringan. Aku menahan senyum. Biarlah rahasia itu tersimpan rapi untukku saja.
Tapi bukan Namira namanya, jika dengan senang hati menyerah dan membiarkanku merasa tenang. Ia terus mengamatiku dengan kening berkerut.
"Kenapa harus merahasiakannya dariku?" tuntutnya.
"Sudah lupakan saja. Bukan apa-apa kok. Bukan siapa-siapa. Bukan masalah penting." Aku membujuknya meninggalkan topik pembicaraan ini.
“Aku tahu.” Ujarnya.
Tapi aku lebih tahu, dia hanya ingin menggertakku. “Ya?” aku hanya tersenyum.
“Kautsar, kan?” ucapnya. Cepat, ringan, dan tajam. Langsung menusukku tepat di jantung.
Aku menahan napas. “Bukan.”
Senyum Namira justru merekah. “Lalu kenapa wajahmu jadi merah?”
Aku meliriknya tajam. Dia tertawa penuh kemenangan.
"Pantas saja, kamu selalu terlihat sangat terhanyut kalau mendengar dia azan atau tilawah...."
"Apa sih, Mir? Bukan begitu!" Aku menggeleng keras.
"Semakin kamu berusaha mengelak semakin terlihat kalau kamu su..."
Ketukan keras di pintu menyelamatkanku. “Hanina! Namira! Innalillah, ada kabar buruk!”
Laras, salah satu teman kost kami, langsung membuka pintu. Wajahnya terlihat luar biasa kalut. "Teh Sofi! Teh Sofi dan suaminya kecelakaan!"
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Sujud Kutitip Cinta
RomanceSudah terbit full versi Dalam Sujud Kutitip Cinta by Vee Ulfia 😍 bisa diperoleh di google playbook yaa kakak2 yang baik 😊 Makasiii 😊🙏