BAB 10 - White Chocolate

124 3 1
                                    

8 Tahun yang lalu...


"Maaf."

Alena mendongkak. Mengatahui laki-laki yang tengah berdiri didahapannya itu adalah Ahes ia mengerlingkan mata dan berdiri dari ayunan hendak pergi. Tapi, Ahes menghalanginya sampai Alena berjalan mundur dan hampir jatuh jika saja kedua tangannya tidak memegang rantai ayunan. Posisi tubuhnya hampir terjungkal kebelakang, namun kakinya masih sanggup menahan tubuhnya tetap berdiri.

Ahes bergerak maju dan mencondongkan wajahnya didepan wajah Alena. Kedua tangannya bahkan juga memegang rantai yang sama, tepat diatas tangan Alena. Jarak keduanya hanya tinggal 5 senti dan Ahes menatap Alena yang terkejut dengan prilakunya. Tubuhnya sudah melakukan perlawanan tapi Ahes semakin mendekat, membuat Alena mau tak mau diam dan hanya menatap Ahes dengan murka.

"Pergi."

"Kamu yang pergi, Alena. Ini udah malem. Kenapa duduk sendiri disini? Saya cari kamu dari tadi."

Alena mendorong tubuh Ahes sekuat tenaga. Membuat laki-laki itu mundur beberapa langkah. Alena tersengal lalu melipat tangannya didada. Benar-benar kesal dengan sosok laki-laki degan hoodie hitam ini.

"Nggak usah sok akrab."

Ahes menghela napas lalu mengangguk, paham mengapa Alena bisa sampai semarah ini. "Saya buru-buru waktu nggak sengaja nabrak kamu. Saya kesini mau ganti coklatnya." Ahes mengambil kotak berbentuk hati dari bangku yang tak jauh darinya. Kemudian menyerahkan itu pada Alena yang masih menatapnya dingin. "Ini buat kamu, ucapan tanda maaf saya. Saya juga udah ke panti, saya udah ganti lebih banyak coklat. Maaf udah bikin kita berantem." Ahes tersenyum setulus mungkin. Tapi, yang ia lihat hanya Alena yang menghela napas dan mengalihkan pandangannya. Lalu duduk di ayunan dengan tatapan kosong—menatap rumput dibawah kakinya.

"Itu coklat pertama yang gue bikin—dari gaji pertama gue juga. Lo nggak bisa gantiin pake seribu kotak coklat sekalipun." Alena menahan sesuatu yang ingin keluar dari pelupuk matanya. Ia tidak ingin menangis di depan Ahes.

Ahes menatap kotak cokelat ditangannya. Ini juga kali pertamanya ia memberi coklat pada seorang gadis. Ini juga pertama kalinya ia meminta maaf—karena seperti apapun kesalahannya, ia tidak pernah perduli. Bahkan sejak sekolah ia sudah banyak menolak para gadis yang menyatakan perasaan padanya dan tak jarang membuat mereka menangis karena sikap dingin Ahes. Jika ada yang memberinya hadiah, maka beberapa saat kemudian hadiah itu akan bertanggar di tong sampah.

Dan itu Ahes lakukan agar para gadis tidak terus mengganggunya. Ia juga punya tekanan akademik yang harus dicapai, ia tidak punya waktu seperti kencan atau apapun. Ia hanya dituntut untuk belajar. Satu-satunya harapan sebagai anak tunggal dari pemilik saham terbesar di Indonesia ada ditangannya—ayahnya memintanya untuk patuh dan ia tidak bisa menolaknya.

Ahes berlutut dihadapan Alena yang kini tengah menyandarkan kepalanya di rantai dingin dengan sorot mata yang sendu, masih tidak mengindahkan keberadaannya.

"Mau saya buatin coklat yang baru? Saya bisa bikin White Chocolate. Percis kayak gini."

Alena menegakkan kepala. Berkedip untuk memastikan bahwa yang kini tengah bertekuk lutut dihadapannya ini adalah Ahes. Tangannya membuka kotak berbentuk hati itu dan benar saja, itu White Chocolate. Alena tersenyum melihat betapa cantiknya coklat-coklat kecil berbentuk hati itu, dan tanpa ia sadari itu membuat Ahes terpesona. Andai saja gadis ini selalu tersenyum, pasti akan terlihat semakin cantik.

"Kamu manis kalau senyum. Coklat ini aja kalah sama senyum kamu." Ahes tersenyum, ini kali pertamanya ia merayu seorang gadis. Rasanya sangat aneh, tapi menggelitik hati. Ia ingin seperti ini terus, dan sangat berdebar menunggu responnya. Jadi, ini yang dirasakan gadis-gadis itu padanya?

[B] The Recovery | A NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang