BAB 4 - Luka Itu

166 1 0
                                    

"Kenapa Glady nggak boleh tau soal luka lo?"

Ahes membulatkan matanya. Ia baru saja membaringkan Alena di kasur dan tiba-tiba saja kedua mata gadis itu terbuka dengan pertanyaan yang ia prediksi akan keluar sewaktu-waktu. Ia menghela napas dan sedikit mengerlingkan mata. Setidaknya pura-pura sadar lebih lama sedikit. Sekarang rasanya sia-sia sudah usaha susah payahnya menggendong Alena.

"Nggak bisa nanya lain waktu aja sampe harus pura-pura pingsan? Be—rat!" Ahes mengajukan protes dengan jeda dan tekanan yang dibuat seyakin itu.

Alena mengerlingkan mata dan melipat kedua tangannya didada. Manik matanya terus memicing menuntut jawaban, ia tidak suka pengalihan pembicaraan.

"Jawab nggak lo?"

"Saya nggak bisa jawab. Itu alasan saya nggak kasih tau Glady atau siapapun termasuk kamu. Karna saya juga nggak paham gimana bisa saya punya bekas luka ini. Semua orang nggak denger saya, saya teriak juga nggak ada yang mau jawab."

Alena menurunkan lengannya, seperti itukah—Ahes kehilangan ingatannya? Bahkan tak ada yang memerdulikannya?

"Saya juga nggak ingat, kejadian apa yang udah saya alami. Dokter bilang, saya kecelakaan mobil, kritis, lalu koma. Lalu kenapa ada lebam bekas cambukan di punggung saya? Tiga tahun pertama saya terus obati, saya udah coba dengan obat medis sampai herbal. Tapi, lebam ini terus ada. Saya juga nggak tau kapan ini hilang." Ahes mengenang kembali, ia memejam dengan helaan napas berat mengingat ketika ia terbangun dan tak tau alasan kenapa ia ada di rumah sakit dan lebam yang ada di punggungnya. Tak ada yang ingin menjawab sekalipun itu ayahnya. Apa masalah itu sangat berat untuk dijelaskan semua orang padanya? Seberat apa? Atau bahkan ia tidak boleh mengetahuinya? Lalu kenapa?

"Buat sekarang, gue bakal jaga. Nggak tau kalau nanti, suatu saat pun Glady pasti tau dengan sendirinya." Alena kembali membaringkan badannya, ia bisa mendengar derap langkah Glady yang khas. Ia memejamkan mata, ia tidak tau alur seperti apa yang akan membawanya setelah ini. Ia hanya ingin memeluk Ahes—tapi itu sangat gila untuk sekarang.

"Kak Alen udah siuman?" Glady menaruh nampan berisi semangkuk bubur dan air teh hangat itu diatas nakas dan duduk disebelah Alena yang terbaring. Tangannya memijat pergelangan tangan Alena yang terkulai lemah. Ini bukan sandiwara, tapi Glady sungguh mengkhawatirkan kondisi Alena yang terlihat sangat tak bertenaga.

Glady semakin menekan pijatannya sebagai kode agar Alena terbangun, agar Alena segera memberitahu apa Ahes melakukan sesuatu yang aneh saat ia pura-pura pingsan.

Tapi, Alena masih saja diam. Jangan-jangan ketiduran?

Glady ingin meremas pergelangan tangan Alena dengan kencang sebelum akhirnya menemukan bekas luka disana. Seperti bekas jahitan, dan saat ini terlihat sedikit lebam. Mengapa ia baru melihatnya? Ia sudah melihat Alena menyetir dan tak menemukan luka seperti ini. Sejak kapan Alena mendapatkannya?

"A—ashh." Alena membuka matanya dan meringis—menarik tangannya dari cengkraman Glady yang membuat pergelangan tangannya terasa sakit.

"Pelan-pelan kan bisa? Sakit shhh." Alena menggerak-gerakkan tangannya. Detik itu juga ia menyadari satu hal—ada lebam didekat bekas jahitan tangannya. Sekali lagi ia mengecek untuk memastikan. Dan benar saja, luka lebam itu terlihat dengan jelas.

"Kak, tangan lo kebentur apa pas bantuin tadi? Maaf—harusnya gue nggak repotin lo gini." Glady menggenggam pergelangan tangan Alena dan menatapnya dengan tatapan bersalah. Alena menggeleng lalu menggenggam tangan Glady dan tersenyum simpul.

"Nggak, bukan salah lo. Tadi di kamar mandi gue emang hampir kepeleset trus tangan gue ngebentur westafel buat nahan badan gue. Ternyata sampe lebam gini. Udah, nggak usah khawatirin gue gitu ah." Bohongnya. Alena menepuk pelan pipi tembam Glady lalu gadis kecil itu memeluknya erat.

[B] The Recovery | A NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang