BAB 9 - Pelukan

115 2 0
                                    

Setelah kejadian di lift Ahes sudah tidak melihat keberadaan Andre lagi. Bahkan saat ia mencoba menelfonnya, nomor itu sudah tidak aktif. Sejujurnya ia merasa Andre sangat aneh akhir-akhir ini. Sering menatapnya tanpa arti yang jelas, terlihat menutupi beberapa hal tentang masa lalunya, dan juga menelfon seseorang diam-diam dengan panik. Saat ia mengetahui penguntit itu adalah Andre, saat itu juga ia tau ada di pihak mana Andre sebenarnya. Tapi, untuk apa?

Untuk apa menutupi masa lalunya? Bahkan semua orang menutupinya dengan rapi. Tak ada satupun yang bisa ia ajak berdiskusi. Sebelum bertemu Glady, ia tak punya kontak Pak Jarlan. Semuanya pergi. Ingatannya, dan semua orang berubah. Tak ada yang bisa ia percaya kecuali Andre yang selalu patuh padanya. Dan saat ini bahkan Andre pun sudah berubah.

Ahes bukan tidak mencari info apapun, tapi ia tidak tau harus memulai dari mana dan tubuhnya sering kali menolak untuk mengingat sesuatu dari masa lalu. Kepalanya sakit dan lebamnya menjadi sangat sakit. Betapa hidupnya sangat menyesakkan—dan karena ia ingin terus menjalani hidup akhirnya Ahes menyibukkan diri dengan bekerja. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Alena. Firasatnya mengatakan, Alena tau sesuatu tentang masa lalunya.

Dan disinilah Ahes sekarang. Berdiri dengan kepalan tangan menggantung didepan daun pintu yang tertutup rapat. Hanya tinggal 1 inci lagi untuk mengetuk tapi sudah hampir 30 detik ia tidak juga melakukannya. Bukankah akan sangat aneh membahas tentang masa lalunya tiba-tiba? Harus darimana ia memulainya?

Ahes masih mempertahankan posisi itu lalu melihat jam arloji di tangannya, pukul sebelas malam. Benar, mungkin Alena sudah tidur. Harus kah ia urungkan saja? Bahkan ia masih mengenakan pakaian kantor dengan dasi yang sudah melonggar, rasanya aneh jika membahasnya tanpa persiapan apapun. Ia harus kembali ke kamar untuk mandi lalu tidur. Seperti itu saja.

Laki-laki itu menurunkan tangannya lalu berbalik. Namun kakinya masih enggan pergi melangkah. Tidak tidak, mau sampai kapan ia menunggu? Sudah terlalu lama ia terus menunda. Harus saat ini juga. Bagaimana jika menawarkan Alena untuk kembali ke restorannya dan diangkat sebagai Manager karena Bu Dya berencana untuk resign? Ah, pintar sekali. Ayo lakukan.

Secepat angin Ahes membalikkan badannya dan hendak mengetuk sebelum pintu itu terbuka dan menunjukkan sosok Alena yang tengah membuka pintu dengan sebelah tangan yang tengah membernarkan ikatan rambutnya. Bukan itu yang membuat Ahes menahan napas untuk sejenak. Tapi, melihat Alena menggunakan lingerie berwarna merah diatas paha dengan bahan tipis dan cukup terbuka dibagian atas sehingga menunjukkan leher dan dada bagian atasnya dengan bebas. Alena yang masih menunduk bahkan meneruskan langkahnya hingga tubuh mereka bertabrakan.

Sensasi gila itu dirasakan Ahes tepat ketika Alena yang justru terlihat kaget namun reaksinya sama seperti dirinya—menahan napas bahkan fokus pandangannya mengarah pada bagian kemeja atasnya yang sudah tidak dikancing dan menunjukkan dada bidangnya dengan jelas. Tatapan mereka penuh getar bersamaan dengan debar jantung keduanya yang bergemuruh. Hawa disekitar mereka mendadak sangat panas dan aneh. Ini sangat gila. Namun keduanya tertahan sampai dua detik kemudian Alena berteriak kencang lalu berlari masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan keras.

Ahes menggigit bibirnya dan menekan kening dengan sebelah tangan pada pinggangnya. Kenapa ia bisa sangat bodoh seperti ini? Untuk apa juga ia harus selarut ini datang pada Alena? Mungkin ia sudah gila.

"KENAPA LO ADA DI DEPAN KAMAR GUE? MAU MESUM? POLISI ATAU GLADY? LEBIH TAKUT MANA LO, HAH?" Pekik Alena. Ia menyandarkan punggung di pintu dan mengeratkan lingerienya sampai menutupi penuh bagian dadanya. Lebih gila lagi ketika ia menoleh ke arah cermin, wajahnya sangat merah—entah menahan malu, atau terpesona dengan keindahan yang sudah ia lihat—ia tak bisa memperkirakannya dengan benar.

"Ng—nggak gitu. Ada yang mau saya omongin tapi kamunya keluar kamar—lagian kenapa malem-malem gini keluar kamar pake pakaian kayak gitu? Kamu tau kan saya itu laki-laki normal?" Ahes juga bersandar di daun pintu—meraup akal sehat sebanyak-banyaknya bahkan memejam berusaha menghilangkan gambaran yang sudah diliatnya—namun malah semakin jelas. Bahkan bukannya berlari ke kamar, ia malah tetap berada disini. Bukan karena otaknya yang berjalan sesuai kodrat, tapi lututnya sangat lemas. Majalah dewasa saja ia tidak suka, lalu apa tadi? Ia melihatnya langsung walau sedikit bahkan merasakan benda kenyal itu di dadanya!

[B] The Recovery | A NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang