0.4 Maaf

347 62 20
                                    

"Eun. Maaf."

Seperti biasa, Ilhoon membiarkan jendela kamarnya terbuka. Namun malam ini tidak ada teman untuk bicara. Hanya pantulan bayangannya di jendela kamar Naeun, gelap. Ilhoon yakin tidak ada seorang pun di kamar itu. Sejak sepulang sekolah, kamar itu masih gelap. Tirainya juga masih terbuka.

Naeun tidak sedang berada di rumah.

Ilhoon memukul pahanya. Kesalahan yang sama terulang hanya karena sebuah kecerobohan kecil. Lebih tepatnya karena kebodohan untuk tidak bisa menahan diri dari keinginan menyentuh gadis itu.

Ilhoon mengambil telepon genggam. Berusaha menghubungi gadis itu berkali-kali, namun tak kunjung mendapat jawaban. Lima menit pun tidak cukup untuk meyakinkan Naeun. Nada sambung dari seberang masih setia menemani Ilhoon, mengisi malamnya yang sunyi.

"Halo?" Sahut orang dari seberang. Ilhoon melompat dari tempat tidurnya.

"H- H- Halo? Naeun?"

"Udah puas? Sekarang bisa diem? Gue mau istirahat."

Lelaki itu terdiam. Mulutnya mengatup rapat. "Eun-"

Tut.

Ilhoon mengacak rambutnya frustrasi. Son Naeun. Perkataan gadis itu mutlak. Dia ingin bertindak tapi tidak bisa apa-apa. Jung Ilhoon lemah di hadapan Son Naeun.

Ilhoon mengusap wajahnya kasar. Son Naeun. Ilhoon merasa seperti mayat hidup sekarang. Hanya bernapas tanpa bisa mengejar. Jung Ilhoon putus asa tanpa Son Naeun.

Son Naeun.

Son Naeun.

Ilhoon menggigit bibirnya. Dadanya sesak. Tenggorokannya tercekat. Kupu-kupu yang biasa menari setiap malam tidak hadir malam ini. Malam ini pesta dibatalkan. Bintang pun ikut pudar. Bulan juga sepertinya lebih suka bersembunyi di balik kabut.

Naeun juga lebih memilih bersembunyi di balik selimut daripada mendengar suara Ilhoon yang selalu membuat hati lamanya kembali berbunga lagi.

"Ilhoon, ayo turun makan malem!" seru ibunya dari lantai bawah.

"Iya!"

Ilhoon menyeret tubuhnya. Setiap langkah terasa menyakitkan. Dia melewati meja belajar kemudian kembali lagi untuk menatap foto dirinya dan Naeun musim panas lalu. Naeun di balik kaca tersenyum lebar. Manis seperti biasa. Di sebelah Naeun ada Ilhoon, merangkul, dengan jari-jari jahil yang menarik pipi gadis itu.

"Napa lu senyum bego," Ilhoon membalik bingkai fotonya.

"Ya gak usah ngegas kali," sahut seseorang dari luar. Ilhoon menoleh dengan cepat, lalu mendapati kakaknya sedang menatapinya malas.

"Berantem?" sahut Minjoo.

"Kaga," balas si adik cuek lalu melenggang pergi. Dia bukan lagi bocah yang terus-terusan merengek kepada kakaknya. Bukan lagi anak kecil yang selalu bergantung kepada orang yang lebih tua.

Ilhoon duduk di meja makan tapi pikirannya tidak berada di sana. Mungkin tertinggal saat meninggalkan kamar. Masih menetap pada senyuman gadis itu di foto lama mereka.

"Ma, sopnya apa gak kebanyakan, nih?" tanya Minjoo ketika sedang menyiapkan sop untuk keluarga.

"Oh, iya. Tadi temen Mama mau ke rumah, tapi enggak jadi," beliau tertawa kecil.

"Kasih aja ke rumah Naeun. Daripada dibuang, kan, sayang."

Ilhoon hampir tersedak air putih.

"Bener juga. Ilhoon, nanti anterin ke rumah Naeun, ya?" pinta ibunya.

"Kok Ilhoon, Ma?" protes si bungsu.

"Loh, kan biasanya kamu paling-"

"Iya, iya." Ilhoon meneguk air putihnya pasrah.

"Berantem, ya?" goda Minjoo sambil mengangkat alis.

"Hah siapa berantem? Kamu, Hoon?" Ibu mereka panik. Ilhoon tidak mau ibunya tahu. Bisa-bisa mereka dipaksa baikan sampai akrab kembali.

Dan Ilhoon akan diejek 'bocah pengadu' oleh Naeun.

"Enggak, Ma. Cuman tadi lagi ngerjain tugas aja." Ilhoon membuat-buat alasan, beruntung ibunya percaya.

Ilhoon mengetuk pintu. Hatinya terasa berat. Bagaimana jika Naeun yang muncul? Apa yang harus dikatakannya? Bagaimana jika Naeun membencinya? Bagaimana jika Naeun mengusirnya?

Pintu pun terbuka. Dia menghela napas lega saat yang muncul ibunya Naeun.

"Eh, Ilhoon. Ayo masuk," ajaknya sambil tersenyum manis.

Ilhoon memberinya sop dan ingin segera pergi saat itu juga. Jangan sampai bertatap mata dengan Naeun.

"Ilhoon. Kamu bisa tolong Tante gak?" Wajahnya khawatir, membuat Ilhoon tak tega.

"Kenapa, Tante?"

"Itu si Naeun dari pulang sekolah gak mau keluar kamar. Pintunya juga dikunci. Tante bingung harus ngapain."

"H- Hah?" Hati Ilhoon menjadi lebih tenang mengetahui Naeun berada di tempat yang aman. Bagian hati lainnya terasa sakit, mengingat perlakuannya yang membuat gadis itu mengurung diri.

"Titipin salam ya, Tante," pamitnya lalu menyalami tangan ibu Son.

"Duh, Hoon, bisa gak bujukin Naeun dulu? Tante gak tenang mikirinnya. Dia belum makan dari pulang sekolah."

Ilhoon menggaruk tengkuknya, "Duh... Gak bisa, Tan..."

Dia harus mulai menjaga jarak. Ini yang diinginkan Naeun. Sejujurnya, mana mungkin seorang Jung Ilhoon menolak. Apalagi sampai calon mertua memelas seperti ini. Wah, hatinya terbang!

Tapi Naeun... Ilhoon tidak mau mengecewakannya lagi.

"Kalian berantem?" Kata-kata itu membuat Ilhoon menelan ludah.

"Ng... Nggak."

"Terus kenapa? Biasanya juga kamu kegirangan."

Duh aibnya terbongkar.

Harga dirinya harus dipertahankan. Setelah dipikir-pikir, lebih baik dia mulai menjadi pemberani. Saatnya berhenti menjadi pengecut.

"Ya udah kalo Tante maksa."

~

Kamu mungkin tidak memiliki senyum paling indah
Tetapi saat kamu tersenyum, hari-hariku menjadi lebih indah

Jangan biarkan seorang pun menghancurkan kebahagiaanmu
Marahkan dia, termasuk aku
Apalagi aku

Saat itu terjadi,
Jangan menangis di depan mereka
Jangan menangis sendirian
Menangis kepadaku
Sambil peluk aku erat
Seolah hanya aku yang kamu miliki

Sambil marah pun tak apa
Aku senang karena kamu membutuhkanku

Anti Ilhoon Ilhoon ClubTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang