0.3 Hujan

475 72 16
                                    

"DILAN!!" Naeun berlari menyusuri selasar kelas dua belas. Tatapan risih dari orang-orang menghujaninya, tetapi gadis itu tidak peduli. Dia terus berlari menuju kelasnya yang juga berbagi kelas dengan dilan itu, XII MIPA 9.

Ilhoon yang baru saja keluar kelas melihat ke sumber suara. Matanya membesar, mulutnya tersenyum lebar begitu saja. "Mileaku!" sahutnya sambil melambaikan tangan. Naeun berhenti tepat di depannya. Ilhoon menyengir lebar melihat gadis itu terengah-engah, wajahnya merah.

Naeun mengambil napasnya satu-satu sambil membungkuk. Walaupun begitu senyuman di wajahnya tidak pudar. Lengkungan indah itu masih menempel di sana. Sepertinya tidak akan menghilang sebelum Ilhoon mengacak-acakkan rambut gadis itu sekarang. Naeun mendongakkan kepalanya, menatap tajam kepada Ilhoon.

"Ih! Barusan gue rapiin malah dihancurin lagi," cibir Naeun kesal. Bibirnya masam.

Ilhoon tertawa kecil, "Ada apa? Tumben."

Naeun baru ingat. Dia segera mengeluarkan secarik tiket dari saku bajunya. "Nonton yuk!"

Ilhoon tersenyum lebar. "Yuk. Nonton apa?"

"Black Panther. Aku dapat tiket dua," Naeun mengeluarkan secarik yang lain dari sakunya. Senyum simpul gadis itu menyusul.

"Changsub?"

Gadis itu cemberut, "Dia ada seminar hari ini. Kemungkinan balik dari kampus malam katanya."

"Oh," Ilhoon mengambil tasnya, "Lu kaga bawa motor, kan?"

"Nggak. Nebeng, ya?" ujarnya lalu menyengir.

Ilhoon mengangguk mantap, "Yuk."

Mereka berjalan menyusuri selasar menuju pintu utama. Tidak ada angin, tidak ada petir, seketika turun hujan deras. Kelompok murid-murid yang tadinya sedang bercengkrama di lapangan kini berpencar mencari tempat berteduh. Kendaraan roda dua yang berlalu-lalang memutar motor mereka kembali ke tempat parkir. Beberapa memilih untuk menerobos hujan-hujan yang cukup kuat untuk menusuk kulit.

Naeun menganga lebar. Menatap awan kejam di langit mendung itu yang tiba-tiba saja memuntahkan isinya. Ilhoon juga menatapnya. Bukan langit, tapi Naeun. Memerhatikan setiap inci dari tarikan wajah gadis itu yang membuat ekspresi tidak percayanya begitu menarik di mata Ilhoon.

"Lah kok hujan?" serunya jengkel.

"Yah, hujan." Ilhoon mengulangi, masih menatapinya.

Naeun menolehkan kepala, melihat ke wajah Ilhoon yang sama sekali tidak ada perasaan kecewa di sana. "Jadi gimana, dong?" rengeknya cemberut. Ilhoon merasa seperti disengat listrik, kemudian jantungnya berdebar kencang.

Matanya terkunci pada mata coklat Naeun. Tetapi mulutnya masih tertutup rapat, tidak memberi jawaban.

"Woi. Jangan ngelamun!"

Ilhoon mengerjapkan mata. "Kantin yuk sampe teduh."

"Pentol kuah yuk." Naeun menarik jaket Ilhoon saat lelaki itu hendak berjalan berlawanan dengan arah yang ditunjuknya.

Ilhoon menoleh, menatap ke arah Naeun yang juga menatapnya. "Nerobos?" Tanpa bertanya pun Ilhoon tau jawabannya, seperti yang dilakukan Naeun sekarang, mengangguk mantap. "Gak nerobos gak keren."

"Sakit habis nerobos hujan lebih gak keren," sahut Ilhoon sambil mengacak-acakkan rambut Naeun. "Kantin aja," lanjutnya.

Naeun menggeleng, "Pentol pokoknya!" Gadis itu menarik lengan Ilhoon paksa dan berlari menyeberangi lapangan sekolah.

Bulir-bulir air hujan menerpa wajah gadis itu. Rambut hitam pekatnya terbawa angin dan tempias. Ilhoon dapat melihat senyum Naeun merekah di balik helaian rambutnya yang melambai. Matanya yang melengkung sempurna, tiba-tiba saja melihat ke arah Ilhoon tanpa peringatan. Mata Ilhoon tidak berkedip.

Son Naeun sangat cantik.

Mereka berhenti di bawah kanopi gerbang belakang sekolah. Lima puluh meter dari gerbang, warung kecil berdiri di sana. Naeun dapat membayangkan rasa pentol dan kuahnya yang sedang dihangatkan di dalam panci besar warung itu. Naeun menatap Ilhoon. Rambutnya yang basah terjatuh di depan wajah gadis itu, lalu disisirnya ke belakang menggunakan jari-jarinya yang lentik. Lelaki di hadapannya hanya bisa memandangi.

"Cowok duluan," kata Naeun. Dia menyungging senyum.

"Bareng lebih asik." Ilhoon merangkul Naeun, tangannya menjepit kedua pipi gadis itu. Tidak ada penolakan. Mereka berjalan dengan santai di bawah hujan. Ilhoon menikmatinya. Naeun tanpa sadar sedang memerhatikan lekat-lekat lelaki di sampingnya. Tidak ada senyuman, tanpa ekspresi, untuk waktu yang cukup lama.

Ilhoon sadar ditatapi. Tetapi jika dia menoleh, waktu berharga itu akan berakhir, dan dia tidak mengharapkannya.

"Hoon." Naeun berhenti melangkah. Ilhoon akhirnya dapat melihat ke samping.

Tangan Naeun berusaha menjauhkan rangkulan Ilhoon. Saat dia berusaha melepasnya, Ilhoon justru membawanya lebih dekat.

"Kenapa?"

"Lepasin dulu."

"Bilang aja. Kenapa?" Ilhoon menghindar untuk melepas gadis itu.

"Lu yang kenapa?" Naeun mendesak. Sorot matanya kecewa.

Ilhoon mengernyitkan dahi. "Gua?"

"Lu udah bilang gak bakal nyentuh gue setelah jadian, kan?"

Ilhoon terdiam. Ingatannya kabur. Dia tidak pernah mengingat hal semacam itu, waktu saat inilah yang berharga.

"Lupa lagi?" Naeun melepas tangannya paksa. "Lu emang gak bisa ngehargain gue, Hoon."

Naeun membalikkan badan. Pergi begitu saja. Ilhoon mematung. Rintik hujan menemani dirinya. Angin dingin seolah mengolok Ilhoon yang tak kunjung mengejar gadis yang disayanginya. Dia terduduk. Memerhatikan punggung gadis itu yang perlahan menjauh, lalu menghilang.

Kesalahan yang sepele menurut Ilhoon kembali terulang, dan itu hal yang penting bagi Naeun.

~

Aku suka hujan
Memori dan kenangan indah kita terputar begitu saja
Aku merindukanmu
Aku harap kamu juga

Aku juga benci hujan
Ingatan saat kamu meninggalkanku terlintas begitu saja
Aku mendoakanmu
Aku harap kamu baik-baik saja

Anti Ilhoon Ilhoon ClubTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang