Pada Awalnya #3

112 8 0
                                    

Chapter #3 : Pada Awalnya

• • •

Dia. . .

“Fian?” Mungkin benar karena mataku masih normal belum ada tanda-tanda rabun.

Di hadapanku, Fian mendengus. Jongkok sambil merapikan kertas yang berserakan. “Yah, lo, Ka,” aku yang melihat Fian kesusahan segera membantu dia. Beberapa bagian kertas kotor karena terkena kopi. Dan kertas itu kelihatannya cukup penting.

Atau malah sangat penting. Tolong tekankan kata sangat.

Sadar jika sedari tadi kami berdua menjadi tontonan, aku menarik tangan Fian. Malu juga menjadi tontonan gratis para pengunjung. Ya, meski orang-orang hanya melihat sejenak dan kembali melanjutkan aktivitas.

Dan akhirnya, aku duduk berhadapan dengan Fian sekarang. Sementara Fian, laki-laki itu sibuk dengan kertas yang entahlah masih bisa dikatakan sebagai kertas atau tidak. Bahkan jika aku jadi Fian, mungkin aku akan pingsan.

Kertas itu terlihat sangat buruk.

Angel Side : Apa kamu nggak sadar diri, Lengka? Kan kamu yang bikin kertas itu kotor begitu.

Devil Side : Jangan salahkan Lengka dong. Salahkan si Fian!

Angel Side : Kenapa jadi Fian? Dia korban, tolong. Kertasnya dia kotor sementara Lengka cuma jatuh.

Devil Side : Lengka memang jatuh. Tapi, cappucino yang masih panas tumpah ke kakinya. Bayangin kalau kulitnya melepuh gimana? Kalau seandainya cappucino nya tumpah ke muka gimana? Kalau waktu itu Lengka nggak pakai jeans gimana?

Angel Side : . . .

Devil Side : Lagian, ya ngapain coba bawa-bawa kertas bertumpuk-tumpuk kayak gitu ke kafe? Kafe itu tempat buat nongkrong bukan buat ngeprint apalagi fotokopi. Kalau sampai ada apa-apa sama kertasnya, itu resiko dia dong.

Angel Side : . . .

Devil Side : Terus, tugas kamu itu bantu Lengka. Bukan malah menyalahkan Lengka. Kamu kok jadi Angle kerjanya nggak becus banget sih? Mending resign saja deh.

Angel Side : Kok kamu berisik banget sih? Jadi pengin tak tabok.

Devil Side : . . . Kayaknya peran kita kebalik. Dahlah.

“Kalau kata aku, lebih baik kalian berdua diam.”

“Hm? Siapa yang diam?”

Aku tergagap saat Fian memergokiku berbicara dengan khayalanku sendiri. Senyumku terkembang. Aku meringis selebar yang ku bisa supaya ia tidak curiga.

Ya ampun, malu banget.

Karena mengalihkan perhatian saja tidak cukup, aku membantunya merapikan kertas serta menyusun halamannya urut seperti semula. Bagaimana pun aku ikut andil membuat kertas ini basah.

Sungguh. Jika waktu bisa diulang, aku akan lebih hati-hati saat melangkah. Selain fakta bahwa kejadian ini merugikan Fian, firasatku berkata ini bukan hanya tentang kertas. Tetapi, juga tanggung jawab.

Aku mendongak perlahan. Melihat wajahnya yang kusut seperti baju yang belum disetrika.

Benar saja, tidak lama kemudian dia menghela napas. Tangannya mengusap wajah kasar.

“Ka, tanggung jawab, lo.”

Aku melongo. “Hah? Tanggung jawab kenapa? Kamu hamil? Kita saja nggak pernah anu-anu.”

P O R T R A I TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang