Pertanyaan Fian #6

68 10 2
                                    

Chapter #6 : Cemburu

• • •

Suara nampan yang diletakkan di atas meja memecah lamunanku. Secangkir latte dan sepotong tart ditaruh di atas meja. Pemiliknya menarik bangku putih di depanku. Masih di tempat yang sama. Saat aku sibuk menulis artikel.

Indonesiano Negozio.

Jam pulang mahasiswa membuat kedai ini tampak sesak. Seharusnya aku mulai pergi dari sini karena hawanya yang kurang menyenangkan. Ramai. Berisik. Membuatku sulit berpikir.

“Katakan semua yang kau ketahui.”

Jariku di atas keyboard terhenti. Aku mendongak. Kaca mata yang ada di atas hidungku sedikit turun. “Apa yang harus aku katakan? Chat kamu itu, aku bahkan nggak paham maksudnya.”

Vina, gadis di hadapanku sekarang menggenggam erat cangkir keramik. Nyaris memecahkannya. Wajahnya terlihat rumit. Sebenarnya, apa yang membuat si sabar Vina menjadi seperti ini?

“Emir. Aku mendengar banyak hal buruk tentang kalian.”

Emir?

“Hal buruk apa?” gumamku tanpa sadar menegang. Aku menelisik wajah Vina yang tampak gusar. Dahiku berkerut lalu terkekeh. “Jangan bilang, kamu berpikir aku mendekati kekasihmu?”

“. . .”

“. . .”

“Jadi, itu benar?”

“Maafkan aku.”

Aku terdiam.

Setelah lebih dari dua tahun kami di Jakarta. Selalu bersama kemana pun. Ini adalah kali pertama kami berselisih paham karena laki-laki. Aku tidak menyangkal bahwa hubungan kami merenggang. Mengingat Vina datang dan tanpa aba-aba menuduhkan hal buruk kepadaku.

Bahkan dia tidak segan mengatakannya. Bukannya bertanya kebenarannya terlebih dahulu padaku.

Aku menghembuskan napas. Melepas kacamata mata yang mengganggu. Punggungku bersandar pada kursi. Ekspresiku datar.

“Kamu mau mendengar penjelasan yang mana? Kedekatanku dengan Emir? Maka, akan aku ceritakan.”

Tubuhku condong ke depan. Menatap tepat iris hitam Vina.

“Jujur, jika kamu tidak mengenalkan Emir padaku. Atau cerita kamu tentang Emir yang itu, Emir yang ini. Mungkin sampai aku lulus dan kembali ke Jogja, aku nggak bakal pernah kenal Emir. Siapa itu Emir? Penting kah?”

Aku memperhatikan Vina yang mendengarkanku dengan serius. Meski tatapannya ke bawah. Sibuk mengelus bibir cangkir.

“Aku tidak mengenal Emir. Begitu juga Emir yang tidak mengenalku.”

“Tapi, Emir sering cerita tentang kamu.”

Tubuhku tersentak. Mataku melebar melihat Vina yang menatapku datar dengan pandangan berkaca-kaca. Saat ini, jantungku berdetak kencang. Entah apa yang aku rasakan. Firasat yang mengetikkan sesaat menelusup ke dalam hatiku.

“Kamu bohong kalau bilang kalian tidak saling mengenal.”

“Tidak. Tidak.” Menahan gugup, aku mengibaskan tangan. Kemudian, mencoba menenangkan diri. “Aku bahkan jarang berinteraksi dengannya. Seperti yang aku katakan sebelumnya, aku tidak mengenal Emir. Tidak ada satu hal pun yang dapat mengaitkan kami.”

“. . .”

“Kamu percaya aku, kan?”

Vina terdiam.

P O R T R A I TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang