Permen Milik Vina #11

52 3 0
                                    

Aku masih mendongak bertatapan dengan dia saat sebuah angkot berhenti di seberang jalan. Kusingkirkan ia dari pandanganku. Lalu menaruh tas di atas kepala. Berlari menembus hujan. Meninggalkan Fian yang menatap punggungku dengan pandangan tak terbaca.

Kakiku melangkah kencang. Aku rela basah asal aku bisa cepat lepas dari debaran ini. Rasanya begitu lega ketika aku sudah duduk di sisi kiri. Angkot berjalan setelah kuberi tahu alamat kost-kostan.

Aku menangkup tangan lalu meniup keduanya sambil sesekali digosok-gosok. Paling tidak tanpa jaket sekalipun aku bisa menjaga kehangatan. Dalam kondisi kemeja yang basah dan terhembus angin lewat sela kecil jendela di belakang, ada kemungkinan aku bakal demam.

"Lo kedinginan?"

"Huah!"

Tak!

"Aduh!" Aku meringis. Mengelus belakang kepala yang terpelatuk jendela karena kaget. "Kamu kok ada di sini?"

"Kenapa? Salah gitu kalau gue ada di sini?" Lelaki itu bertanya dengan alis terangkat. Ia mengulurkan jaket miliknya. Memakaikan benda itu di tubuhku. Seketika seluruh gerakanku seolah tengah dikontrol. "Benar dugaan gue. Belum apa-apa lo sudah mulai kabur-kaburan."

"Maksudnya?"

"Gue tahu. Lebih dari tahu malah. Lo sengaja menghindari gue, kan. Padahal baru beberapa jam yang lalu, kita ketawa-ketawa bareng."

Sebutan kita bila diucapkan oleh Fian, rasanya geli di telingaku. Ada rasa menggelitik di perut. Seakan istilah kupu-kupu berterbangan di perut benar-benar terjadi kepadaku. Sensasinya tidak biasa.

Manusia bernama Fian yang sengaja kutinggal di bawah rintik hujan sekarang duduk di sini. Di sebelahku. Memandang tanganku yang kugosok karena hawa dingin. "Sini."

Aku mengerutkan kening. Melihatnya tidak menjawab pertanyaanku. "Apanya? Mau ngapain?"

"Sini."

Belum lagi aku bereaksi, tangan yang semula kugosok tiba-tiba berpindah posisi di depan Fian. Dia menangkup kedua tanganku lalu meniupnya. Sesekali telapak tanganku diarahkan menyentuh pipi dia.

"Hangat?"

Aku mengangguk kecil. Kemudian melempar pandangan kemana pun asal tidak ke wajah Fian. Aku masih malu atas perlakukan dia tadi. Tadi itu terasa sangat intim. Jarak duduk antara aku dan Fian terlalu dekat.

"Rambut lo basah," dia menggosok rambutku yang membuatku harus menghadap ke arahnya. Tidak perlu dipertanyakan bagaimana akhirnya tubuhku membeku karena sentuhannya.

Masih dengan tangan di atas kepalaku, Fian secara mendadak memajukan wajahnya. Membuatku tidak berkutik di tempat. "Pulang-pulang lo harus keramas. Ganti baju yang lebih tebal. Jangan lupa tidur pakai selimut biar nggak dingin."

Di dalam angkot dia melakukan itu. Meski kebetulan cuma ada kita berdua dan bapak-bapak yang ngorok di pojok angkot. Tetap saja aku hanya bisa terdiam. Wajahnya terlalu dekat. Menatapku tepat di mata.

Lalu dia tersenyum yang entah bagaimana bisa membuat dadaku berdebar tak karuan. Saat angkot berhenti di dekat kost, dia memundurkan wajahnya. Kemudian mengusap puncak kepalaku.

"Langsung tidur, ya. Badan lo dingin."

Ia tersenyum. Senyum yang membuat debaran ini kembali muncul.

Ketika aku turun dan berteduh di depan sebuah ruko, aku menyadari. Mataku tak pernah terlepas dari tempat angkot itu berhenti. Aku menantikan sesuatu. Bukan. Lebih tepatnya, memastikan sesuatu.

Tanganku terangkat. Memegang sisi kiri dada. Merasakan detakan kencang yang tak biasa kurasa. Perasaan itu muncul. Tepat saat aku sadar, mencoba mengelak pun sulit. Kepalaku tertoleh ke sisi kiri. Terpaku pada suatu benda yang bergerak tertiup angin. Lagi-lagi mawar merah.

P O R T R A I TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang