Serangga Pengganggu #12

47 3 2
                                    

"Kamu tidak harus melakukannya sejauh itu. Aku nggak butuh."

Satu hal yang harus kaum adam tahu tentang seorang hawa. Di mata seorang hawa, kaum Adam bagai serangga yang mengganggu di satu waktu. Ingin kuberi tahu kapan waktu itu terjadi?

Saat palang merah jatuh hingga beberapa hari ke depan.

Dan sungguh. Aku tidak paham lagi apa yang lelaki ini lakukan demi bisa mengantarku pulang. Apa telinganya mengalami masalah? Atau matanya yang tidak melihat jelas kekusutan wajahku? Dia benar-benar . . .

"Dasar insecta!"

. . . bahkan serangga tidak lebih merecoki hidupku dibanding dia!

Sebut saja aku keterlaluan. Tapi, apa yang akan dibayangkan orang lain jika mantan dari sahabatmu berniat baik mengantarmu pulang? Apa kata mereka? Apa kata Vina? Apa kata alam semesta?

Bila angin mendengar semua kalimat yang Emir katakan padaku, ini akan menjadi salah paham. Lelaki ini, entah sebesar apa keinginannya balikan dengan Vina, sampai hidupku kena imbasnya. Tiap hari datang. Ingin mengantarku. Ingin menjemputku.

Angel Side : Mungkin cita-citanya jadi babu.

Devil Side : Mulutmu! Ya Tuhan, tolong buat filter untuk mulutnya.

Angel Side : Hmph.

Bahkan dua babu ilusi yang selalu ikut campur urusanku masih lebih baik daripada Emir.

Angel Side : Kambing! Cantik-cantik gini dikata babu!

Devil Side : Astaghfirullah. Aing dikata babu.

"Ka."

Aku melotot. "Apalagi?!"

"Sling bag kamu ketinggalan," dengan tampang polosnya, ia menyodorkan sebuah sling bag milikku.

Pipiku memerah. "Terima kasih!" Tak lagi menoleh ke belakang, aku terus berjalan menyusuri trotoar kampus. Menuju halte, menunggu bus arah kost-kostan.

Pandanganku lurus ke depan. Tidak sekalipun berniat menggerakkan kepala. Ke kanan. Ke kiri. Meski dari ujung matapun aku tahu, Emir masih menungguku di atas motornya. Lagipula, lelaki itu tidak ada pekerjaan lain apa? Bersih-bersih got misalnya. Menyapu halaman. Biar Jakarta makin bersih.

Hidungku kembang-kempis. Jariku melilit satu sama lain. Risih yang terus menyergap, lama-lama menjadi menyebalkan untukku. Hingga sebuah motor butut melintas. Berhenti di seberang halte. Pemilik motor mengeluarkan ponsel.

Beberapa saat kemudian, ponsel milikku di dalam sling bag bergetar. Sebuah pesan masuk tertera di muara notifikasi.

Pulang sama gue!

Hanya satu kalimat. Satu kalimat yang membuatku langsung berlari saat itu juga. "Tuhan, akhirnya ada yang datang menolongku."

Aku sudah tidak peduli apa tanggapan Emir. Karena ia juga tidak memedulikan posisiku sebagai sahabat Vina. Walau sekarang lelaki itu tengah mengepalkan tangannya. Wajahnya yang benar-benar menyeramkan seperti ingin menonjok seseorang.

P O R T R A I TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang