Fian Itu Bajingan #9

52 6 3
                                    

"Hai, bunga. Aku sedang kebingungan."

Di siang hari yang panas. Matahari cukup terik mengingat jam sudah menunjukkan pukul dua belas. Aku heran pada diriku sendiri. Semenjak aku menginjak Jakarta aku suka bepergian di waktu ini. Rasanya tepat. Tidak sepi seperti di pagi hari. Tidak ramai macam malam hari.

Berjalan di area taman kampus merupakan hobiku yang kesekian. Pemandangan yang cantik. Udara yang bersih. Namun, tidak dengan suasananya. Taman adalah tempat yang cocok untuk para buciners.

"Aku tahu kok setiap manusia diciptakan berpasangan. Tapi, memang harus banget pacaran di tempat umum kayak gini? Seperti tidak ada tempat tertutup saja. Ewh."

Katakanlah itu hiperbola. Kenyatannya, aku benar-benar mual setiap melihat sepasang jenis saling berangkulan. Searasa dunia milik berdua. Dan sungguh apa mereka tidak malu dilihat oleh anak kecil.

Seperti sepasang anak kecil di sampingku ini.

"Kak, aku punya permen nih. Kakak mau tidak?" Kata salah satu anak kecil itu. Namanya Nada. Anak perempuan yang dititipkan padaku karena ibunya tengah mencari suaminya yang tersasar entah di mana.

Benar-benar plot twist yang sempurna. Semoga ibu itu tidak meninggalkan anaknya untuk selamanya.

"Oh, kenapa kamu memberi Kakak permen?" Suara bungkus yang terbuka menjadi latar suasana damai ini. Aku mengangkat alis sembari mengulum permen itu. "Ada lagi, kah? Kakak mau lagi."

Penuh keceriaan, Nada memberikan beberapa bungkus permen lagi kepadaku. Sekarang aku curiga apa peran kami sudah tertukar. "Itu buat Kakak. Permen itu dikasih sama Ayah. Katanya permen itu tandanya kita sayang sama seseorang."

"Ayahmu memberinya karena sayang kamu?" Aku mengangguk perlahan. Sejak kecil selalu memberikan permen pada anak yang menangis, aku tak pernah berpikir permen sebagai simbol kasih sayang. "Bapak juga suka memberiku permen. Apa itu artinya Bapak juga sayang aku?"

". . ."

"Iyalah! Kan aku anaknya. Pakai ditanya lagi."

Keheningan kembali menyelimuti kami. Kurasa hanya menyelimutiku. Dua bocah di sampingku benar-benar cerewet khas anak kecil. Mereka saling bertukar cerita. Tentang teman-teman mereka. Keluarga mereka. Dan impian mereka yang membuatku sedikit terkikik.

"Di sekolah aku ditanya cita-cita sama Ibu guru. Tapi, aku nggak tahu cita-cita itu apa," kata Cinta, teman Nada.

Nada, gadis berkuncir dua ini menggaruk dagu seolah berpikir. "Cita-cita itu keinginan kamu kalau besar. Kata Bunda sih gitu."

"Terus, cita-cita kamu apa? Aku ingin jadi orang kaya! Kata Bunda kita harus punya uang yang banyak biar hidup kita sejahtera. Tapi, aku nggak tahu sejahtera itu apa."

"Kalau aku sih ingin menjadi seorang Youtuber. Biar bisa beli toko permen. Terus, terus, makan permen setiap hari."

Hidungku kembang-kempis. Aku tidak menyangka pikiran anak kecil bisa sepolos ini. Apa waktu seumuran mereka aku juga seperti itu?

Aku menggeleng cepat. "Membayangkannya saja sudah memalukan."

"Kak, kok kakak-kakak yang di sana pelukan sih?" Tiba-tiba, Nada mendongak melihatku dan bertanya. Bola matanya memancarkan rasa penasaran.

"Iya. Kata Bunda, aku cuma boleh dipeluk sama Bunda dan Ayah. Katanya kalau dipeluk bukan sama mereka, aku bisa hamil. Tapi, aku nggak tahu hamil itu apa," sahut Cinta.

Sungguh ajaib sekali anak ini.

Tanganku terangkat. Mengelus rambut mereka. Sangat halus dan hitam legam. "Mereka benar. Nggak boleh pelukan sama orang yang tidak dikenal. Kalau kalian pelukan sama orang yang tidak dikenal, kalian akan jadi seperti induk ayam dan telurnya."

P O R T R A I TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang