Mawar Merah #5

74 6 0
                                    

Chapter #5 : Mawar Merah

• • •

Hari itu menjadi saksi bisu dari debutku menjadi asisten merangkap budaknya Fian jelek. Omong-omong, aku akan selalu mengatakan jelek di belakang namanya. Begitulah awal dari kisahku yang semakin hari semakin repot karena bolak balik kampus di sore hari.

Badan pegal, bau apek, kurang makan, kena omel Fian jelek mulu lagi.

Koma, itu koma. Jangan titik nanti cara pembacaannya berbeda.”

“Typo, Botak! Tahu tulisannya Tahi. Lo mau bikin gue digibeng sama dosen?

Itu huruf kapital lah, Neng cantik. Eneng dari SD sudah diajari kapital buat apa saja, kan?

Padahal kesalahanku itu tidak disengaja. Tolong garis bawahi kata tidak. Kecuali bagian Tahi. Hah, andai Fian nggak lihat. Aku berharap banget dia dihukum dosen pakai tugas yang lebih banyak.

Devill Side : Ih, nggak boleh ngomong kayak gitu. Lengka, kan, anak baik-baik. Masa doanya buruk sih.

Angel Side : Ya, nggak apa-apa dong. Kan Fian memang nyebelin. Kecuali Fian itu baik. Baru salah kalau ngomongin yang jelek-jelek.

Devil Side : Tapi, nggak gitu konsepnya.

“Dah, dah. Sebenarnya ini hidup aku apa hidup kalian sih. Nggak capek apa ngurusin aku mulu. Memang hidup kalian udah benar?”

Angel Side : Maaf, Non. Bibi salah.

Devil Side : Maaf, Bud. Wati salah.

Wajahku berubah datar. “Dahlah.”

Jadi, setelah mendapat perkerjaan baru itu, rutinitasku ikut berubah. Yang sebelumnya teratur menjadi berantakan. Pagi bangun telat. Siang aku krucil. Sorenya aku lemas. Malam nya sudah butek sebelas dua belas sama bak mandi yang airnya tidak dikuras sebulan. Pokoknya selama paper itu masih ada di tanganku, aku selalu sial.

Vina atau Emir yang lihat aku pulang sampai di kost saja meringis-meringis. Segitu Upik abunya aku kali.

Tetapi, ada hikmah di balik kejadian ini menurutku. Walaupun hikmahnya tak sefaedah itu. Hubunganku sama Fian jelek jauh lebih baik dari kemarin-kemarin. Dan lebih dekat. Yang sebelumnya bertengkar karena hal sepele sekarang punya sisi sosial satu sama lain.

Siang ini, aku terbebas dari paper Fian jelek. Aku sudah menyicilnya kemarin. Sekarang, dengan secangkir kopi panas aku duduk di salah satu kedai dekat kampus. Indonesiano Negozio.

Dindingnya klasik dan tidak menyilaukan mata. Dengan kaca besar berdiri di sisi depan. Serta lonceng di atas pintu utama layaknya toko-toko kue di musim dingin.

MacBook kesayanganku terbuka lebar. Terpampang jelas laman blog tempat aku menulis. Musim ini tengah trending skincare. Sehingga kuputuskan membuat artikel tentang rekomendasi skincare dan cara pemakaiannya.

Namun, dua jam lebih aku duduk di sini, berbagai pikiran terus menggangguku. Rasanya ada yang berubah akhir-akhir ini. Vina, Fian jelek, Emir. Tiga orang itu terus berputar di kepalaku. Berjalan-jalan bak Anna, Olaf, dan Christoper bersenang-senang di musim panas.

P O R T R A I TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang