Ada yang Sakit #14

83 3 1
                                    

Pandanganku menyisir sekeliling. Memperhatikan tiap-tiap wajah yang duduk di antara harum kopi. Di sudut depan ada sepasang remaja yang tengah di mabuk cinta. Di tengah ruangan ada sekelompok muda-mudi yang bercengkrama. Di pojok belakang sekumpulan remaja perempuan tengah mengerjakan tugas mereka.

Aku mengernyitkan dahi. Wajah pasaran lelaki itu belum nampak di frame mataku. Firasatku saja atau aku tahu dia bakalan telat datang. Aku memesan latte, sebelum membawa nampan itu ke lantai atas.

Kupikir, spot balkon tidak ada salahnya.

Tapi, tidak. Cuaca panas dengan matahari yang sangat terik seperti ini bukan pilihan bagus. Aku memilih tempat dekat AC. Di sebuah ruangan kecil yang hanya berisi enam meja.

Jarum jam masih bergerak. Pun suasana yang semakin bergulir. Dibanding menghabiskan waktu hanya untuk melamun macam remaja galau, aku memilih mengeluarkan MacBook kesayanganku dan mulai menulis beberapa bait kalimat.

Blog mungkin hanya pekerjaan sampingan. Namun, karena blog itulah aku masih bisa membeli paling tidak Starbuck di pinggir jalan. Menjadi anak rantau bukan perkara mudah. Belanja diatur. Naik transportasi diatur. Pergaulan diatur.

Anak kecil pun kalau terus diperlakukan seperti ini, lama-lama bisa kabur dia dari rumah.

Aku bukanlah tokoh-tokoh di dalam novel. Yang merantau lalu membeli apartemen, bertemu lelaki kaya, menikah, berakhir happily every after. Aku hanyalah Lengka. Remaja biasa yang tengah berjuang di antara mahasiswa semester akhir.

Dan uang, adalah materi yang paling kubutuhkan saat ini. Lagipula, mana ada perempuan yang tak membutuhkan uang?

Suara pintu terjeblak keras membuatku mendongak dari layar. Aku mengerjap. Melihat Fian dengan pakaian berantakannya, berjalan sempoyongan. Celana jeans robek yang sangat khas menambah image-nya seperti pemabuk di luar sana.

Ia menarik latte milikku. Menyedotnya. Lalu mengembalikan ke tempat semula.

Aku terdiam.

"Apa ini yang disebut ciuman tak langsung di drama-drama?" Batinku berkata. "Bibirku. Dan Fian. Bibirku dan Fian. Bibirku dan Fian. Bibirku dan Fian. Bibirku dan Fian."

"Ka!"

"Bibirku . . . Apa?!"

Fian tersentak. "Santai dong. Gue manggil baik-baik loh. Apa pula itu. Bibir . . . Bibir. Bibir lo dower?"

Pipiku memerah. Pikiranku me-reka ulang adegan saat bibir Fian menyentuh sedotan milikku. Kalau sedotan itu bibir. . .

"Kamu gila, Ka! Buang pikiran itu! Buang!" Aku menggelengkan kepala sambil mengetuknya. Terus seperti itu sampai rambutku yang terkuncir, lepas dari ikatan. "Kayaknya aku perlu ke kamar mandi deh. Titip barang-barang, ya."

Fian terbengong. Mengangguk saja saat aku mulai berlalu dari hadapannya. Tidak ada gunanya juga dia menahanku. Yang ada aku semakin berbuat aneh.

"Sebentar lagi dia pasti mengataiku tidak waras," kataku pada bayanganku di cermin. Wajahku tampak basah. Sebagian poniku lepek terkena air. Bibir yang semula pink cerah menjadi pucat.

Lagi-lagi bibir. . .

Angel Side : Ada apa sih sama bibir? Bibir kamu habis dicipok, iya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

P O R T R A I TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang