Aku menendang kumpulan batu kerikil yang ada di depanku. Sembari menendang, aku terisak dengan rasa sesak di dada. Berharap dengan melakukan hal itu, rasa sakit karena dikhianati bisa menguap.
Aku menarik napas dalam, seolah kehabisan oksigen, mencari kelegaan lewat udara yang menyerbu masuk ke dalam dada. Tapi ternyata, hal itu semakin membuat rasa nyeri itu. kian membesar, hingga isakanku menjadi lebih keras dari sebelumnya.
Langkahku semakin berat, karena rasa lelah mulai menyergap. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan baru menyadari jika aku sudah berjalan terlalu jauh. Tepat di sebuah jembatan, sebagai penghubung antara jalan besar dengan komplek perumahan, yang terpisahkan oleh sebuah danau, aku berdiri di tengah jembatan itu.
Kembali aku menarik napas dalam, dan membuangnya dengan terengah. Sambil mengusap pipi yang basah, tatapanku terarah pada danau yang begitu tenang. Suasana yang begitu sunyi, membuatku bisa mendengar deru napasku yang memburu kasar. Sambil menggigit bibir bawah, aku mulai duduk dan memeluk kedua lutut.
Seperti inikah rasa sakit itu? Aku bahkan tidak menyangka jika hal ini terjadi padaku. Ironisnya, aku mendapatkannya dari orang yang sangat kupercaya. Tidak hanya satu, tapi dua. Sial! Rasa marah dan sedih, bercampur menjadi satu. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Bagaimana bisa hal itu terjadi?
Mengingat hal itu, air mata sialan ini, keluar lagi. Kupikir, dengan menggunting rambut panjangku, bisa membuat beban hidup menjadi lebih ringan. Nyatanya? Aku semakin terlihat menyedihkan.
"Aaarrrggghhh! Fuck you, Roland! Fuck you, Bitch! Fuck my life!" teriakku marah.
Aku kembali terisak dan menenggelamkan kepala di atas lutut. Tubuhku bergetar, rasa sedih yang semakin menguap, dan pengkhianatan yang kuterima, seakan mendesak diri untuk menyerah. Tidak. Tidak. Aku tidak boleh menyerah. Aku tidak akan...
"Are you okay?"
Sebuah suara yang terdengar begitu tenang dan ramah di saat yang bersamaan, datang menghampiri dari arah belakang. Isak tangis spontan terhenti, dan aku segera mengangkat kepala, mengusap kedua pipi yang basah, lalu menoleh ke arah sumber suara.
Seorang pria muda. Tinggi. Dan terlihat terpelajar. Dia memakai kemeja bodyfit dengan lengan yang digulung sampai siku, dipadukan celana hitam yang membungkus kaki jenjangnya.
"Hey, you okay?" tanyanya lagi.
Dia berjalan mendekat, kemudian menumpukan satu lutut untuk melihat keadaanku. Aku bergeming dan memperhatikan pria itu menatapku dengan tatapan menilai. Sedetik kemudian, dia tersenyum ramah.
"Kenapa menangis, Gadis Cantik?"
"Bukan urusan kamu," jawabku dingin.
Aku hendak mengusap pipiku lagi, tapi tangan besar pria itu, langsung menahan dengan mencengkeram erat pergelangan tanganku. Spontan, aku tersentak dan menatapnya dengan waspada.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNSPOKEN MARRIAGE (SUDAH TERBIT)
RomanceUnspoken Series # 2 : Wayne's Story Cerita ini sudah tamat sejak April 2018 dan akan saya revisi. Beberapa part yang hilang adalah EX. PRIVATE, yang berubah menjadi draft dengan sendirinya. Akan saya republish, seiring dengan revisi yang akan saya b...