Ada satu kebiasaan yang kerap kali Shalu lakukan setiap kali dia melakukan tindakan pengecut: menghukum diri. Caranya? Tidak membiarkan makanan apa pun masuk ke lambung. Kecuali air putih.
Sabtu pagi, 30 jam setelah insiden toilet itu, Shalu terkapar tidak berdaya di kamar serba putihnya. Sudah berapa kali ia abaikan ketukan-ketukan di pintu. Malam tadi, mama dan papanya bergantian menanyakan keadaan. Shalu hanya membiarkan kepalanya terjulur di antara himpitan pintu lalu menjawab bahwa dia baik-baik saja. Tidak akan dia biarkan orangtuanya melihat kamar yang berantakan karena amukan pelampiasan amarah. Tentu mereka akan salah artikan itu semua sebagai bentuk depresi karena gagal menikah. Padahal, Shalu hanya sedang menghukum diri yang bertindak pengecut.
"Lu?"
Itu suara Shayaka. Lulu berdehem sebagai jawaban paling aman agar saudara kembarnya tak bisa mendeteksi suara lemahnya.
"You okay?"
"No. Lulu sedang sekarat disengat ubur-ubur," ia menirukan suara Spongebob. Berharap candaannya itu membuat Shayaka segera pergi dari kamarnya.
"Lulu buka!"
"Shit!" Gema Shayaka jenis manusia yang tidak bisa memercayai audio tanpa melihat visual. Lulu menduga, jangan-jangan, saudaranya ini pencipta slogan nyeleneh masa kini 'no pic hoax'.
"Lagi pengin sendiri, Ka!"
"Hitungan keempat, nggak dibuka, pintu ini roboh!"
Ancaman itu membuat tubuh gemuk Shalu bangkit dari ranjang acak kadutnya. Terantuk-antuk, wanita itu menuju pintu. Wajah penuh selidik Shayaka-lah yang ia jumpai beserta pandangan mata berbumbu curiga tebal.
"Pertama, makan dulu. Kedua, mandi. Ketiga, cerita!"
***
"Mau coba jalan sama Deroys?"
Ujung dari cerita panjang lebar soal pertemuan dengan Akbar adalah: wacana baru yang diusuli Shayaka. Jika tawaran ini Shalu terima satu tahun lalu, mungkin Shalu akan mengiyakan penuh suka cita. Mengingat, Deroys adalah laki-laki pertama yang membuat Shalu mengerti bahwa deg-degan sebelum tampil membaca puisi di depan umum, berbeda dengan deg-degan saat berdekatan dengan lawan jenis.
"No. Thanks."
Shalu memang belum berencana membuat perutnya bergejolak karena jalan dengan cowok setengah Dewa seperti Deroys. Bukan waktu yang tepat untuk berlovely-dovey. Pun, jika suatu saat dia membuka diri, dia akan memilih laki-laki yang tidak membuatnya terintimidasi karena fisik rupawan. Isi harus bagus, packaging nggak boleh silau.
"Lu, Oys baik. Aku kenal dia 12 tahun."
"Aku tahu. Tapi, nggak dulu. Ya, Ka?"
"Jalan saja, Lu! Apa salahnya buka diri?"
"Kamu alih profesi? Dari jaksa jadi Matchmaker?" sindir Shalu.
Shayaka nampak tak suka dengan sebutan itu. "Lu, dengar. Mungkin ini kedengarannya jahat. Tapi, kamu sudah nggak punya banyak waktu."
Ya, perempuan mempunyai jam biologis. Lulu tahu itu. Dan wanita gemuk, menuju 30 tahun, nggak diberikan banyak opsi keren untuk menentukan calon pasangan. Berbeda dengan gadis cantik awal 20-an, smart, proporsional. Mereka tinggal menjentikkan telunjuk. Pilih, lalu bawa pulang.
Satu lagi, laki-laki potensial sudah sold out di umur 30 awal. Sisanya--yang sepantaran dengan Lulu--akan memilih Daun Muda. Pilihan yang tersisa untuk Lulu mungkin pria single 40 tahunan yang putus asa mencari pasangan hidup lalu random memilih pasangan. Kalaupun ada yang hawt, pasti duda berbuntut tiga. Poor Shaluna!

KAMU SEDANG MEMBACA
Chemistry
RomantizmChemistry itu tumbuh sendiri; alamiah. Seperti rumput liar." Arkanino. "No. No. Chemistry itu diciptakan; dibentuk. Seperti taman." Gemi Shaluna