Chapter 2

16K 497 17
                                    


Malam mulai menyelimuti kota itu. Salju mulai turun dengan lebatnya. Para penduduk mengunci pintu rumah juga jendelanya dengan rapat dan memeluk anak-anak mereka dengan erat. Suasana diluar sangat dingin. Tetapi mereka tidak mengkhawatirkan hal itu. Mereka hanya mengkhawatirkan dua mobil van yang terlihat melintasi rumah mereka. Mereka tahu pemiliknya. Mereka tahu siapa yang berada dalam mobil itu. Hanya orang yang berhati dingin yang dapat menaikinya.

Sementara itu, di dalam mobil terlihat empat orang pria dengan raut wajah yang berbeda-beda. Yang paling menakutkan hanyalah seorang lelaki yang tengah bernyanyi dengan riang di kursi depan. Tangannya memegang erat sebuah sniper.

"Crosshair lock you down, death kisses you on the forehead.." pria itu mengucapkannya berulang-ulang. Ketiga pria lainnya sibuk mengotak-atik hologram.

"Kita akan memakai rencana yang mana?" tanya seorang lelaki berkulit tan. Kevin menoleh dengan sontak lalu kembali bersenandung.

"Tentu saja kita harus membantainya!!" jerit Kevin. Ray menggeleng.

"Kita gunakan plan A. Jika mereka tidak mau bernegosiasi, gunakan plan B" ujar Ray. Dia melirik mobil Willis yang tepat berada di samping mobilnya. Mata lelaki itu menatap tajam ke depan. Ray tau Willis mendengar perkataannya, tetapi lelaki itu hanya terdiam, yang artinya dia setuju dengan pendapatnya.

"Dan Kevin, berhenti memainkan senapan bodoh itu dalam mobil" tegur Ray dengan tegas. Kevin mendecih. Dia berbalik dan menempelkan moncong senapan itu pada kening Ray.

"Mau merasakan peluru ini dalam kepalamu tidak?" tanya Kevin dengan santai. Ray mengangkat salah satu alisnya.

"Dan aku senang akan berpisah denganmu" balas Ray.

"Bisakah kalian berdua diam!"

Kevin segera menurunkan senapannya dan kembali menatap lurus ke depan saat mendengar suara berat nan tegas itu. Ray menyugar rambutnya. Dia tersenyum penuh kemenangan.

"Tahan sebentar, Kevin. Aku akan memberimu buruan yang sangat menarik daripada seorang Ray "

Wajah Kevin menyunggingkan senyuman. Dia terkekeh pelan.

"That's it"

Mobil van milik Willis berhenti, diikuti oleh mobil kedua. Rumah megah menjulang di hadapan mereka. Pagar setinggi tiga meter dengan suara aliran listrik di atasnya. Rumah itu dikenal sebagai 'Blood House' yang artinya jika kau mengunjungi rumah itu hanya untuk mencuri atau melakukan kejahatan lainnya, si pemilik rumah tidak akan melaporkanmu ke polisi. Tetapi sebagai gantinya, kau harus merelakan kepalamu untuk dipajang di ruang isolasi.

Dan sekarang para penjaga yang mulai memperhatikan mereka. Mustahil bagi mereka berlima untuk masuk. Tiap penjaga dibekali senjata yang berbeda-beda. Entah itu panah ataupun senjata api yang mematikan.

Tetapi ketika Willis keluar dari mobil van itu, mereka semua mundur, seolah melihat harimau yang siap memangsanya.

Tanpa berpikir panjang lagi, Ray menarik maskernya ke atas lalu menyelipkan pisau dan pistol di saku celananya.

"Jalan"

***

"Membosankan.."

Zein menatap kekasihnya dengan khawatir. "Kumohon pulanglah, Celine. Aku masih ingin hidup"

Celine memutar kedua bola matanya. "Ayah dan ibuku sudah mengenalmu, ok? Tenanglah sedikit"

"Tapi bagaimanapun mereka adalah mafia! Aku tidak mau hidupku mati konyol karena aku menculik anak dari keluarga mafia.."

"Kau pikir aku bodoh?! Aku tidak akan menyeretmu dalam masalahku sendiri!" bentak Celine. Dia menyandarkan kepalanya kembali ke dada bidang milik Zein. "Aku lapar"

D A D D YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang