Chapter 9

15.1K 525 4
                                    

Rate: M

Seorang lelaki berusaha menendang tutup peti itu dengan sekuat tenaga. Dia hampir saja mati kehabisan nafas jika para bedebah itu tidak membuat lubang-lubang kecil disekitar petinya.

"HEI!" Dia mulai menjerit frustasi. "AKU AKAN MEMATUHI PERINTAH STORM! BUKA PETI SIALAN INI!!"

Nafasnya terengah-engah setelah melontarkan pernyataan itu, seolah seluruh oksigen yang ia simpan menghilang begitu saja bersama kalimat itu. Terdengar kekehan berat dari luar sana.

"Hei, bung. Jangan berharap Storm akan mengampunimu. Bahkan, Tuhan saja tidak akan mengampuni hambanya jika ajalnya sudah dekat" jawab seorang lelaki diluar sana.

Lelaki itu mengerang dengan pasrah. Dia berhenti menendangi tutup kotak peti itu. Dia hanya menatap kegelapan dengan sendu.

Petinya mulai diangkat. Dia terdiam saat mendengar gemerincing koin dalam sakunya. AH! Itu dia.

'Kau hanya perlu bersabar sampai mereka menaruhmu dalam tanah' batinnya. Dia menggenggam uang koin dalam sakunya itu agar tidak bersuara. 'Cerdas. Kau sangat cerdas sekali..'

Mobil van berhenti. Lelaki itu mulai merasa petinya diangkat. Dia sedikit terkejut saat rasa nyeri menyerang lehernya. Dia mencoba merabanya.

Itu suntikan.

"Beristirahatlah selama lima menit. Lalu kalian akan merasakan apa itu kebebasan. Berterimakasihlah pada Storm.." Ujar seorang lelaki lain diluar sana. Rasa kantuk mulai menyerangnya.

'Ini tidak akan bertahan lama' batinnya.

Akhirnya dia tak sadarkan diri.

***

"Rileks.."

Celine hanya diam saat Willis menaruh dagunya diatas bahu kanannya. Tangannya tetap setia memeluk tubuhnya. Willis hanya bertahan pada posisi itu, tak lebih. Tangannya tidak nakal seperti kemarin. Dia hanya menciumi pundak Celine yang sedikit terekspos, membuat gadis itu sedikit bergidik.

"Wanna play with me?" tanyanya dengan suara yang serak. Celine terdiam. Dia dengan perlahan menyentuh lengan kekar Willis lalu berusaha melepaskan pelukan lelaki itu.

"Aku hanya ingin tahu cara kerjanya" ujar Celine seraya berbalik dan sedikit menjauh dari Willis. Willis berjalan melewatinya, lalu mengambil sebuah tongkat yang dimana masing-masing ujungnya itu terdapat seperti borgol yang terbuat dari kulit hewan.

"Untuk apa itu?"

"Kau tidak akan mengetahuinya jika kau tidak mencobanya" ulang Willis. "Kemarilah. Ini tidak akan menyakitkan"

Mata Celine menatap lekat-lekat tongkat itu, seolah barang itu dapat menyakitinya. Tetapi Willis dengan lembut meraih lengannya lalu menuntunnya ke ranjang yang luput dari pandangannya.

Celine menahan lengan Willis saat dia berusaha membaringkan tubuhnya.

"Tungguㅡ"

"Percaya padaku. Benda ini juga aku tidak akan menyakitimu" ujarnya dengan sensual. Celine menelan ludahnya. Willis mengecup bibirnya sebentar lalu kembali mendorong pundak gadis itu agar terbaring di atas ranjang merah tersebut. Tubuh Celine sedikit gemetaran saat Willis memasankan masing-masing borgol itu pada kedua kakinya.

"Ah!"

Celine menatap benda itu saat Willis memanjangkan tongkat itu. Tongkat itu membuat kakinya mengangkangㅡperih sedikit menusuk selangkangannya. Willis menatapnya sebentar, lalu mengecupi betis dan paha mulus milik Celine yang terekspos bebas dihadapannya.

"Mmmhhh.."

Celine menggeliat pelan. Tangannya bergerak menutupi daerah sensitifnya karena takut jika Willis melihatnya. Willis terus melakukan hal itu, membuat tanda di kakinya. Dan Celine tak bisa menahan rasa gelenyar yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.

Willis memberi kecupan terakhir pada paha mulusnya lalu menatap Celine yang sudah terengah-engah.

"Kau siap?"

Celine berusaha mengatur nafasnya, tetapi tanpa disadari kepalanya mengangguk, membuat Willis menyeringai.

BRUK!

"Akh!!"

Celine merasakan kepalanya diputar. Tubuhnya terbalik begitu saja saat Willis membantingnya hingga tengkurap menggunakan tongkat tersebut.

"Ini cara kerjanya. Aku bisa langsung menyerangmu lewat belakang tanpa harus repot memerintahmu untuk berbalik" jelas Willis. "Laluㅡ"

"Awh.."

Willis terdiam saat mendengar rintihan Celine. Dia menatap gadisnya yang kesakitan. Kedua tangannya memeluk dadanya sendiri.

"Kau kenapa?" tanya Willis.

"S-sakit.." rintih Celine dengan susah payah. Willis beralih ke samping gadis itu lalu mengelus kepalanya dengan lembut.

"Apa yang sakit?"

Celine masih terengah. Dia terus menerus memeluk kedua bongkahan dadanya.

"I-itu.." Celine tidak berani menyebutkannya dengan gamblang. Tetapi jujur saja, payudaranya sangat sakit. Ranjang ini tidak seempuk yang dia kira. Juga, dia tidak menyangka jika Willis melakukan hal itu, membuatnya sedikit terkejut pula.

Willis membalikan tubuh Celine dan memangkunya. Dia membiarkan borgol itu menempel di kaki Celine. Dengan sedikit tergesa dia berjalan menyusuri lorong dan membawa gadis itu ke dalam kamarnya. Willis membaringkan tubuhnya tanpa mau membuka borgol kakinya yang masih membuat Celine mengangkang lebar.

"Apakah payudaramu masih sakit?"

Wajah Celine memerah saat Willis menyebutkan area sensitifnya dengan gamblang. Tetapi saat dia hendak memarahinya, ada sirat kekhawatiran di wajah lelaki itu.

"Ya. Ranjang itu sedikit keras seperti matras. Kau juga membantingku sangat keras!" Celine sengaja meninggikan suaranya. Willis terdiam. Dia mendekatinya lalu membuka tali piyama milik Celine. Celine membelalakan matanya.

"Apa yang kau lakukan?!" teriak Celine dengan panik saat Willis menahan kedua tangannya. Lelaki itu mengabaikannya. Dia menyingkap bra yang dipakai Celine, membuat payudaranya terekspos dengan jelas.

"WILLIS!"

"Diam" ujar Willis dengan tegas.

Celine menjerit saat Willis mulai mengulum putingnya. Tak lama gadis itu mendesah pelan, merasakan tubuhnya menegang saat lidah lelaki itu mempermainkan kedua anggota tubuhnya yang paling dia sayangi.

"Mmmhhhh.. Willhh.."

Willis terus menjilati keduanya dengan bergantian. Tangannya dengan kuat menahan lengan Celine yang memberontak keras.

"C-cukuphh.. Ahhh.."

Willis melepaskan kulumannya lalu melumat bibir Celine dengan ganas. Setelah agak lama dia melepaskan pagutannya, membuat jalinan benang saliva diantara bibir mereka.

Celine menatap Willis dengan takut. "Aku belum siap.."

Willis tersenyum lalu mencium hidung dab kening Celine. Dia menurunkan kembali bra merah itu lalu membuka 'mainan' yang berada di kaki Celine.

"Aku hanya berusaha untuk mengurangi rasa sakitmu. Aku lupa jika ranjang itu belum diganti sejak saat aku pertama memakainya"

Celine terdiam. Dia memikirkan kata-kata Willis.

Pertama memakai? Berarti dia pernah melakukan hal ini dengan wanita sebelumnya?

Hendak melontarkan pertanyaan, Willis berjalan menuju pintu dan segera keluar dari kamar itu. Celine menghembuskan nafasnya. Tubuhnya masih sedikit bergetar. Kuluman dari mulut seorang Willis masih terasa olehnya. Dia memijat pelan kedua dadanya.

Dan benar. Rasa sakit itu hilang.

***

D A D D YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang