Chapter 3

26.1K 631 14
                                    


Willis melemparkan seluruh pakaiannya pada tungku api yang tengah menyala. Bau darah segar masih menempel di tubuhnya. Tetapi dia tidak memperdulikannya. Walaupun tidak seperti Kevin yang gila akan darah, Willis tidak terlalu memusingkan hal-hal kecil seperti itu. Dari dulu dia memang sudah biasa bergumul dengan aroma cairan merah pekat itu.

Dengan tubuh yang tidak terbalut sehelai benangpun, dia berjalan ke sudut kamar. Lelaki berkulit putih itu menarik sebuah kalung perak dengan bandul emas. Dia hanya menatapnya sebentar, lalu kembali menyimpan benda itu di tempat dimana dia menyembunyikannya. Willis memakai bathrobe nya lalu menekan bel, memanggil pelayan.

Seorang wanita masuk dan membungkuk dengan hormat. Willis hanya berdeham pelan lalu keluar dari kamarnya. Tanpa harus diperintah, pelayan itu tau apa yang harus dia lakukan. Menunggu perintah sepele keluar dari mulut Willis sama saja dia menjemput ajalnya.

Seraya menunggu pelayan itu selesai dengan tugasnya, Willis berjalan menuju ruang tengah yang biasanya digunakan oleh ketiga 'adik'nya. Benar saja. Kevin, Ray dan juga Kai tengah bersantai disana. Merekaㅡkecuali Rayㅡmenghentikan aktifitasnya. Willis tersenyum.

"Bola mata siapa itu, Kevin?" tanya Willis saat melihat satu bola mata yang masih segar terendam dalam sebuah gelas yang berisi anggur merah. Kevin tertawa pelan.

"Bajingan tadi. Aku sedikit kesal ketika dia mati, dia terus memperhatikanku" ucap Kevin. Willis mendengus pelan tetapi dia tidak memprotes atau memarahinya. Matanya beralih menatap Ray yang sibuk dengan luka di lengan kirinya.

"Siapa yang menembakmu?" Willis bertanya pada Ray. Ray dengan sekali hentakan mencabut peluru itu dan meletakannya di atas pisin kecil. Dia menaruh pinset itu, menegak segelas wine lalu menatap Willis.

"Orang asing yang tidak tahu alasan mengapa dia harus menembakku" jawab Ray. Kevin terkekeh pelan, mengejeknya.

"Karena dia tau kau lemah" ucapnya dengan sarkastis. Ray hanya mendelik. Terlalu malas untuk mendengarkan ocehan Kevin. Dia kembali menatap Willis.

"Oh. Dan aku membawakan sesuatu untukmu"

Willis mengangkat salah satu alisnya. "Apa?"

Ray menyandarkan tubuhnya pada sofa, membiarkan darah segar mengalir dari pundaknya. "Bersihkan dirimu terlebih dahulu. Kurasa kau akan menikmatinya jika dalam keadaan bersih"

Willis mencebik lalu berdiri. Dia kembali berjalan ke arah kamarnya. Baunya sudah tidak amis lagi. Pelayan itu tau apa yang harus dia lakukan. Ada setangkai bunga mawar di atas nakas. Tungku api tidak membara dan abu bekas bajunya tidak terlihat disana. Willis tersenyum. Dia puas dengan pekerjaan pelayan itu.

Tiga puluh menit berlalu dan lelaki berkulit putih bersih itu memutuskan untuk beranjak dari bath tub. Jemarinya mulai mengeriput karena terlalu lama berendam. Dia memakai piyama biru tuanya lalu merebahkan dirinya di atas kasur berukuran raksasa itu. Matanya terpejam. Lelah juga penat sedikit menguap bersamaan dengan datangnya kantuk.
Sesaat sebelum dia benar-benar tertidur, suara ketukan pintu mengganggunya. Willis mendengus pelan, tak suka.

"Masuk"

Ray masuk tanpa raut wajah yang berdosa sedikitpun.

"Aku ingin beristirahat, Ray" keluh Willis.

"Kau lupa hadiahmu" ujar Ray.

Mata Willis sedikit berbinar saat melihat seorang pengawal membopong gadis belia yang tak sadarkan diri. Willis bangun lalu menghampirinya. Gadis itu hanya berbalut lingerie berwarna hitam yang transparan di beberapa bagian sensitifnya.

"Kurasa aku berhutang gadis ini kepadamu karena telah membuatmu harus membunuh submissive malang itu" jelas Ray. Willis tersenyum. Matanya masih menelanjangi tubuh indah milik gadis itu.

D A D D YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang