(3) Tsalatsah

30 4 1
                                    

Bunga merah dan payung biru.

2009.

Bel istirahat berbunyi.

Sial!. Batin Archi.

Itu tandanya ia harus memberi bunga yang telah dia beli saat perjalanan kesekolah, ini ide menjijikan temannya, tapi jika ia mundur, sama saja Archi membiarkan dirinya menjadi pecundang lagi.

Enggak.

Teman-temannya telah senyum-senyum menggelikan sambil menanti sinetro yang akan mereka ciptakan, ini keren, untuk mereka. Akhirnya seorang profesor Sma Avicenna akan mendekati seorang perempuan. Untuk sekian kalinya Archi mendesah, ini gila.

"Oke profesor, hal pertama yang harus lo siapin adalah bunganya."

Archi mendesah, gugup. Aneh memang.

"Duh, gua mules nih tiba-tiba" Alibi Archi.

"Ngeles lo kurang pinter." Zaman menggeleng akan kebodohan Archi.

"Za, gua.."

Zaman menyeret Archi keluar kelas, antisipasi hal-hal aneh yang Archi lakukan untuk menghindar dari skenario awal.

Teman-temannya membuntuti dibelakang. Jupiter tak dapat menahan tawanya melihat betapa nelangsanya Archi dirangkulan Zaman. Sedangkan Sydney hanya menggosok tengkuknya, bingung kenapa ia begitu penasaran dengan gadis kemarin? Sampai-sampai ia ogah membantu acara PDKT Archi dengan gadis tersebut.

Lalu mereka sampai didepan kelas Islan. Nafas Archi memendek.

"Lo bawa bunganya kan?" Tanya Jupiter.

"Tadi sengaja dia tinggal di kolong meja, untung gua liat" ujar Antariksa sambil menyodorkan bunga tersebut.

"Gua bener-bener pengen ngakak, Chi." Bisik Zaman ditelinganya.

"Gih, samperin. Mumpung kelasnya udah sepi-an" Antariksa mendorong-dorong pundak Archi. Archi mendecik.

"Iya elah, bawel lu pada."

Archi mengusung langkah, kearah Islan yang tengah duduk dikursi pojok kelas sembari membaca buku. Bagus juga selera dia. Pikir Archi setelah melihat buku yang dibacanya.

"Hai" Islan menoleh.

"Nama kamu Islan kan?" Ia mengangguk.

"Nih bunga buat kamu." Archi menyodorkan bunga tersebut kearah Islan. Dari tadi ia sibuk mengurusi detak jantungnya, alay memang.

"Kenapa buat aku?"

Teman-temannya diluar memperhatikan lewat jendela kelas, setelah pertanyaan Islan terlontar, mereka cemas.

"Semoga dengan IQ 167, Archi lolos ngejawab pertanyaan si Islan dengan bener."

Lain halnya dengan Archi, ia mengernyit bingung ketika ditanyai Islan.

"Karena kamu cantik kayak Linda Nicholin, mungkin." Islan mengulum senyum mendengar pemaparan Archi.

"Archi terlalu pinter ngejawab pertanyaanya guys." Jupiter menggeleng sedih.

"Linda nicholin siapa dah?"

"Tanya gih buyut lu." Jawab Zaman kesal.

"Nenek gua, Sa nenek gua" Jupiter menunjuk-nunjuk dirinya dengan nada sarkasme.

"Makasih." Islan tersenyum kikuk.

"Sama-sama, saya duluan ya."

Lalu Archi bergegas keluar dari kelas Islan dan menghampiri teman-temannya diluar.

"Kenapa dah?" Tanya Archi.

"Jawaban lu gak ada yg lebih idiot apa dari itu?"

"Besok-besok gua sita ya buku bacaan lu!"

"Emang kenapa si?" Tanya Archi kesal.

"Lu terlalu pinter chi, jadi less romantic." Archi mendecik, terlalu pintar, salah? Aneh, pak Habibie saja dengan IQ 200 bisa membuat istrinya bahagia semasa hidupnya, dimana salahnya!.

Sekolah pun usai, Archi dan keempat temannya keluar kelas setelah mati menahan kantuk dipelajaran biologi tadi.

Seperti biasa, Archi selalu pergi ketaman belakang sekolah selama 15 menit setelah bel pulang, menikmati sore sejenak dan membaca bukunya.

Namun ditengah perjalanan menuju taman belakang, terdapat kegaduhan dikelas X IIS . Beberapa siswi keluar kelas sambil berteriak, memeluk tas didepan dada. Karena penasaran. Archi mendekat kearah keramaian.

"Kenapa?" Tanya Archi kesalah seorang siswi.

"Ada yang kesurupan kak"

"Kesurupan?" Tanya Archi skeptis, pasalnya jarang sekali siswa disekolahnya 'kesurupan'

"Apaan si lu, she's just messed up."
Sambar salah satu siswi yang juga ikut keluar dari kelas.

"Boleh saya liat?" Siswi itu melirik, dan mengangguk sebagai jawaban.

Lalu Archi masuk, suara tangis perempuan mengisi ruangan, meja dan kursi dipojok kiri kelas begitu berantakan, matanya menyipit, menatap siswi dipojok kelas tersebut melipat kaki dan kepalanya tenggelam diantara lipatan tersebut. Nafasnya memburu, menahan suara tangisnya yang menggema.

Pelan-pelan Archi mendekat, duduk dihadapan siswi tersebut.

"Hei, sini ngedeket, jangan nangis" ujarnya.

Lalu gadis itu mendekat dan merebahkan kepalanya dikursi yang Archi tepuk tadi, kini ia bisa melihat jelas siswi yang menangis tadi.

Shit, dia Islan.

.....

Hai! Thanks for read, btw sorry bat ya gua jarang update, gua moody-an dan butuh good mood buat nulis, but trust me, gua bakal kelarin ni cerita, bener dah wkwkk.

ArchiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang