6 : If Life Throws You A Lemon, I'll Make it A Lemonade for You

201 20 0
                                    

"Mau beli apa, Sierra?" tanya Pauleta. Wanita bule itu mengibaskan rambut pirangnya sambil menatap Sierra yang sedang tersenyum lebar di hadapannya. "Tidak seperti biasanya. Kamu sedang senang, ya?" Nada bicaranya yang masih kaku dan belum fasih berbahasa Indonesia menyulut tawa Sierrra.

"White tea, sama hibiscus tea." Pinta Sierra.

Pauleta mengangguk mendengar permintaan Sierra. Ia mengambil dua kotak teh dari etalase yang dipenuhi jenis-jenis teh. Ia pun menyodorkan kotak putih berisi white tea, dan kotak ungu berisi hibiscus tea. "Seduhnya pakai air panas, yang sangat panas."

Sierra tertawa. Ia pun menyodorkan selembar uang lima puluh ribu pada Pauleta.

"Wajah kamu belakangan ini tampak lebih cerah, Sir." Goda Pauleta.

Sierra memegang wajahnya, "Oh, ya?"

"Apa...ini ada hubungannya sama cowok tampan yang baru pindah ke villa besar itu?"

"Kamu tau dari mana?"

"Kemarin dia ke pasar, terus semua cewek langsung bertingkah seperti mereka nggak pernah melihat cowok." Serunya. Gaya Pauleta saat berbicara membuat Sierra tertawa.

"Dia emang ganteng, sih." Sierra mengedipkan sebelah matanya.

Sierra pun permisi dan keluar dari toko Pauleta. Ketika ia mengangkat wajah, ia dengan kaget melihat seseorang keluar dari mobil Mitsubishi Pajero Sport berwarna merah marun. Hatinya berdesir melihat seseorang yang saat ia kenali turun dari mobil itu.

Rafael.

Sierra mundur beberapa langkah. Apakah ia tidak salah lihat? Untuk apa Rafael kemari, ke desa ini? Melihatnya membuat hati Sierra sakit, apalagi cowok itu begitu tampan dengan kemejanya. Ia harus mundur, ia tidak boleh terlihat oleh Rafael!

"Sierra!"

Sierra tercekat. Ia memberanikan dirinya untuk bersikap baik-baik saja di hadapan Rafael. Ia pun membalikkan badannya. Padahal di dalam hatinya, ia sangat berdebar-debar.

"Ah, bisa kita bicara sebentar?" tanya Rafael, menyunggingkan senyumnya, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka berdua.

Sepuluh menit kemudian, mereka duduk di sebuah restoran kecil yang terletak tak jauh dari taman desa. Restoran itu tak terlalu ramai, sehingga Sierra memilihnya.

Sierra hanya memesan teh hijau hangat. Sedari tadi ia hanya memegangi cangkir tehnya dengan gugup. Tak mau sedetik pun ia menatap Rafael yang duduk di hadapannya. Hatinya masih bertanya-tanya mengapa Rafael datang ke desa ini. Apakah untuk menemuinya?

"Kamu mau apa kemari?" tanya Sierra, terdengar agak ketus mungkin. Tapi ia tak peduli.

"Aku datang disuruh ayah."

Sierra tertawa pahit dalam hati. Apakah Rafael memanggil ayahnya dengan sebutan ayah juga? Mentang-mentang kini Rafael telah bertunangan dengan putri tirinya?

"Untuk apa?" Sierra bertanya dengan nada getir.

"Untuk mengundangmu pada pesta perusahaan. Hari Kamis." Jawab Rafael, menyeruput kopi hitamnya.

"Pesta perusahaan? Hari Kamis?" Berarti tiga hari lagi, batin Sierra.

"Iya. Perusahaan ayah semakin maju sekarang." Rafael menyeringai senang.

"Ah, jadi kamu sekarang bekerja di perusahaan ayah?" tanya Sierra. Ia menyunggingkan senyum sinis, "Apakah itu alasan kamu bertunangan dengan Qisera? Agar kamu bisa bekerja di sana? Qisera kan anak kesayangan ayah."

ForevermoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang