4 : I Would Love to See Where This is Going

214 18 0
                                    

Sierra menyesap teh chamomille hangatnya sambil duduk di kursi kayu yang terletak di serambi rumahnya. Ia meletakkan cangkir berisi teh hangat itu di meja bundar, setelah itu membuka laptopnya. Seperti biasa, ia menghabiskan beberapa menit hanya menatap layar benda itu, menatap lembar halaman kosong yang putih tanpa kata-kata. Berulang kali Sierra menggigit jari atau bibirnya, sambil memutar otak untuk menuangkan cerita. Tapi setiap kata yang ia tulis, pada akhirnya ia hapus juga. Hatinya kurang merasa puas dengan kata-kata itu, karena ia belum juga menemukan inspirasi yang pas dan sempurna untuk ia jadikan cerita.

Dengan kesal ia mendecak. Ia mengangkat wajahnya dari layar laptop dan mengedarkan pandangan ke halaman depan rumahnya. Waktu sudah malam, jam delapan. Tidak seperti kehidupan di kota, penduduk di desa ini sudah pergi tidur pada jam tersebut. Tidak ada kehidupan, tidak ada orang lalu lalang. Yang terdengar hanya suara jangkrik dan katak yang bersahutan.

Sedangkan, Sierra masih terduduk di serambi rumahnya hanya ditemani dengan lampu yang menyala terang benderang. Jujur saja, ia tidak pernah merasa takut tinggal di rumah ini sendirian, atau menghabiskan waktu hingga larut malam di serambinya ini, menulis. Setidaknya sampai saat ini tidak ada hal aneh apa pun yang terjadi.

Begitulah pikiran Sierra sebelumnya, hingga detik kemudian ia mendengar sesuatu dari arah pohon rindang yang terletak tak jauh dari serambinya. Tubuh Sierra menegang seketika. Suara itu seperti suara ranting pohon diinjak, suara semak-semak disibak, suara yang mengganggu. Tangan Sierra meraba-raba ke sekelilingnya, mencoba menemukan sesuatu untuk dapat ia jadikan alat perlindungan. Akhirnya, tangannya berhasil menggapai payung. Alat itu adalah yang terdekat dengannya.

Dengan payung di tangan kanannya, Sierra melangkah mendekati pohon itu. Apakah itu hantu? Perampok? Atau...Sierra bergidik ngeri. Tidak pernah ia merasa setakut ini.

Kaki Sierra terasa semakin berat ketika ia mendekati pohon rindang itu. Matanya dapat melihat dengan jelas sebuah sosok tinggi dan tegap, berdiri di belakang pohon, membelakanginya.

Sierra mengumpulkan keberanian dari dalam dirinya. Ia memejamkan matanya karena takut melihat sosok itu, tapi kedua tangannya dengan kuat terayun ke arah sosok tersebut. Ia memukul sosok itu dengan payungnya. Berulang kali, dengan mata yang terpejam, yang hanya Sierra inginkan adalah sosok itu untuk hilang.

Tapi ternyata, dugaannya salah.

"Eh! Cewek gila! Eh, woi! Gila, lo, ya!?" Suara teriakan seorang cowok membuat Sierra berhenti mengayunkan payungnya. Cowok itu menahan tangan Sierra yang berusaha memukulnya dengan payung.

Sierra pelan-pelan membuka matanya, takut kalau yang tiba-tiba muncul adalah hantu. Ketika ia membuka matanya lebar-lebar, ia sangat terkejut. Saking terkejutnya, Sierra sampai tersungkur jatuh, terjerembab beberapa langkah ke belakang. Mungkin, kaki dan sekujur tubuhnya lemas tadi, sehingga sekarang ketika ia benar-benar yakin di depannya adalah manusia, tubuhnya menjadi hilang tenaga dan jatuh terjerembab di atas tanah.

Bagaimana ia tidak kaget kalau ternyata yang di hadapannya ini adalah cowok sombong yang angkuh itu?

"Kamu...ngapain kamu di sini?" Sierra berusaha bangkit berdiri. Ia mengelap tangannya yang kotor pada celana pendeknya, "Kamu nguntit aku, ya? Bagaimana bisa kamu ada di sini?"

Savier mengelus siku tangan kirinya dengan wajah meringis kesakitan, "Lo emang cewek gila, ya? Kalau mau jadi atlit tinju, liat-liat dulu. Jangan orang hidup lo bikin mati kayak gini. Gue bisa mati kalau ditimpuk pake payung gituan, tau!"

Sierra melirik payung yang masih berada di tangannya, "Maaf."

Savier baru menyadari kalau gadis yang sedari tadi menghantamnya ini adalah si gadis pucat. Benaknya terus berpikir, bersamaan dengan hatinya. Apakah ini sebuah kebetulan, atau memang takdirnya, untuk bertemu dengan si gadis pucat ini terus-menerus?

ForevermoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang