Chapter 9

1.3K 31 0
                                    

Ralin tepat berada di hadapan Anin.

***
Seketika hening.... pikiran Anin kacau, terlihat raut muka Ralin kecewa. Ia tak pernah berpikir sahabatnya melakukan itu padanya, keempat bola mata bertemu dengan banyak makna.
Tak henti Ralin menatap Anin dengan penuh tanda tanya. bingung dengan apa yang terjadi. Perlahan mulai bertanya memastikan bahwa akan ada penjelasan dari mulut Anin, berharap apa yang dilihatnya bukan kebohongan melainkan kesalah pahaman.

"Kakakamu ngapain disini?." Tanya Anin.

"Aku yang harusnya nanya sama kamu. darimana nin? Jam segini baru pulang? Ibu kamu khawatir! Dia nelpon aku nin, katanya kamu pergi nggak bilang sama ibu. Dan.... kamu kan gak enak badan? Kenapa malah keluar rumah dan pulang larut malam, apa yang terjadi nin? Apa kamu berbohong? Mengapa kamu melakukan ini! Aku tak pernah melarangmu pergi kemana pun." Tegas Ralin dengan nada tinggi.

Anin hanya dapat menerima kata kata yang keluar dari sahabatnya, ya ini resiko atas kebohongannya. Ia tak bisa mengelak,semua telah terjadi. Sekarang hanya kekecewaan yang tampak dari Ralin, ia tak sanggup dengan hatinya yang kini rapuh.

"Kenapa kamu hanya diam? Jelaskan kalau ini hanya pandangan salah pahamku saja padamu nin, atau kau memang berbohong padaku? Kau tidak sakit iya kah? Kau keluar dengan seseorang. Siapakah dia? Siapakah orang itu? Apakah dia begitu spesial hingga kau berani berbohong pada sahabatmu?."
Jelas Ralin.

Anin tersudut, ia tak bisa menjelaskan apa alasannya berbohong. Karena ia tak ingin Ralin tahu yang sebenarnya.

"Ya! Aku berbohong, aku pergi dengan seseorang. Aku tak sakit maafkan aku lin." Tutur Anin sembari mencoba memegang tangan sahabatnya itu, namun dilepaskan secara kasar.

Ralin tak menyangka seolah tak percaya apa yang didengarnya dari seorang sahabat yang ia sudah anggap saudara, betapa kecewa dan sakit yang ia dapatkan dari persahabatannya. Betapa ingin ia memaki dan marah pada Anin, namun berpikir dewasa dan hanya menahan semua luka. Ralin pergi tanpa pamit keluar melewati Anin yang terdiam kaku melihatnya pergi.

Ckettttt bug....
Menutup pintu dengan kasar, menandakan rasa tak baik dari pikiran Ralin.

Anin diam sembari mengelap air mata yang menetes, ia merasa bersalah atas apa yang dibuatnya. Pantas jika Ralin marah padanya karena sejak kecil sekecil apa pun sedikit apa pun mereka berjanji tak kan pernah berbohong satu sama lain, dan Ralin sangat benci dengan kebohongan.

Anin *POV*
Tuhan.... kenapa aku ini? Kenapa aku tak jelaskan saja semuanya pada Ralin. Bukannya malah bungkam dan diam saat ia butuh penjelasanku, aku menyesal namun tak akan merubah semua kekecewaan yang Ralin dapatkan. Ahhhhhhhhh mengapa aku seperti ini mengapa aku harus berbohong dari awal?
Anin *POV* End

***

Senin pagi...
Pikiran yang masih tentang perdebatan tadi malam, Anim dengan kantung mata besar akibat menangis semalaman duduk di meja makan untuk sarapan. Ibu Anin kemudian bertanya tanpa jeda padanya, seakan polisi menilang seseorang yang telah melanggar aturan. Anin hanya terdiam tanpa menjawab pertanyaan ibunya dan langsung melangkah pergi ke sekolah dengan muka tak sedap di pandang.

Bel masuk berbunyi ....
Hari itu tidak diadakan upacara bendera karena cuaca tak mendukung, Salju semakin lebat. Semua tak tahan dengan dinginnya pagi itu.

Ralin dan Anin tampak duduk bersebelahan namun tak saling bicara, yang membuat neneng tidak tahan dengan sikap aneh kedua sahabatnya itu.

"Emm..nin kemarin pas gua sama Ralin nonton lo kok gak ikut?." Tanya Neneng pada Anin.

Anin menatap Ralin, ia malu jika harus berbohong lagi di hadapan sahabatnya itu.

"Ihhhhh ditanya malah diem." Neneng dengan cemprengnya.

An Imposible First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang