Jika ditanyakan apa hal yang paling kamu benci di dunia ini, maka, Nirina Anindya dengan lugas menjawab, pandangan orang-orang sekitar.
Ia hanya tidak mengerti kenapa orang-orang dengan mudahnya melabeli suatu kejadian hanya dengan melihat sekilas kejadian tersebut.
Jika ditanyakan contohnya, tentu ia bisa menyebutkan deretan kisah dalam kehidupannya yang dinilai secara sepihak oleh orang-orang sekitarnya. Bahkan ia mengalaminya detik ini. Dengar, apakah berarti seorang perempuan yang lebih memilih makan siang sendirian adalah gadis penyendiri, tidak punya teman, dan tidak mau bergaul? Kenapa bisa murid yang hanya lewat dan melihatnya sekilas sudah sok tahu menafsirkan kepribadiannya hingga sejauh itu?
Baginya tingkat kekonyolan hal itu melebihi makan di kantin bersama dengan anak-anak lainnya karena ia akan tergoda untuk jajan ataupun bau makanan yang berpotensi membahayakan jika ia makan siang di kelas.
Dan, kenyataannya pandangan menyebalkan tersebut tidak berhenti pada lingkungan sekolahnya saja. Pandangan masyarakat di luar sana bahkan lebih menyeramkan lagi. Kalau saja, mindset masyarakat tidak asal menuduh yang bukan-bukan pada siswa SMA yang kerja sampingan, ia tidak akan membohongi bos minimarketnya bahwa ia masih bersekolah.
Bukan karena ia sangat memperdulikan pandangan orang-orang sekitar yang bahkan tidak mengenalinya, tentu saja bukan begitu. Hanya saja, ia tidak bisa membiarkan orang-orang yang melihatnya sebagai pegawai siswa SMA, sudah berani mengatakan yang aneh-aneh mengenai keluarganya. Ketika mereka tidak sedikitpun tahu atau bahkan berkeinginan mencari tahu kondisi keluarganya yang sebenarnya.
Namun, malam itu--entah beberapa hitungan bulan yang lalu, ia tak menghitungnya--seseorang dengan mudahnya mendobrak benteng kebenciannya. Seorang laki-laki yang sama sekali tidak mengetahui kondisi keluarganya, namun mengenal jelas siapa dirinya.
"Siang, Rina. Nih, ada bonus untuk yang makan sendirian."
Tiba-tiba tanpa ia sadari sedikitpun, ada sesuatu di atas kepalanya. Datang dari seseorang yang mendekatinya dengan suara berat namun terdengar lembut, suara yang sangat ia hafal.
Tidak bisa ia mengendalikan dirinya untuk tidak tersenyum ketika melihat benda yang barusan diletakkan di kepalanya oleh laki-laki itu."A-ah, itu..." Ia sama sekali tidak bisa berpikir jernih. Topeng kesempurnaannya sebagai pegawai ramah runtuh seketika begitu mendapati sosok yang menyodorkan belanjaan di hadapannya. Entah senyum seperti apapun yang muncul setelah mata sosok itu terbelalak melihatnya, dunia Rina sudah hancur berkeping-keping malam itu. Dunia kecilnya yang berharga, pendidikannya, keluarganya, segala-
"Nah, ini uang pas Rp 40.000, ya, Rina." Sosok itu dengan gamblang menyebut namanya, tentu saja, tentu saja, laki-laki itu jelas-jelas mengingatnya.
"A-a-" Rina sendiri bahkan tidak tahu ia akan mengatakan apa, tapi, perkatannya dipotong ketika telapak tangannya merasakan suhu dingin yang menjalar tiba-tiba. Sebuah minuman kotak sari apel sudah berada di genggaman tangannya, salah satu belanjaan sosok itu barusan.
"Sari apel kaya akan vitamin C, Rin. Jadi, jangan lupa diminum, biar kesehatan terjaga terus, oke?"
Rina menoleh, mendapati laki-laki yang akhirnya terduduk di sampingnya itu melihatnya dengan nanar lembut dan sebuah senyum yang terukir di wajahnya, sama persis dengan senyum penuh ketulusan yang malam itu ia tunjukkan.
"Dengar, Rin, apel itu kaya--
"--kaya akan vitamin C yang penting bagi kesehatan tubuh." Rina memotong cepat, memulas senyum tipis di wajahnya. Lalu, matanya jatuh lagi ke benda pemberian laki-laki barusan, sebuah apel merah yang tampak segar, "Tapi, kali ini apel beneran?"
Baru saja laki-laki itu membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, segerombolan siswi menghampirinya dan mengerubungi laki-laki berambut pendek itu dalam sekejap, "wah, pak Andi! Ada apa ini bapak berduaan saja dengan Rina??"
Ya, sebenci-bencinya tupai jatuh, pasti ia akan jatuh juga. Maka, sebenci-bencinya Rina akan pandangan masyarakat, ia juga tidak bisa membenci, memungkiri atau menyangkal bahwa ada sebuah hubungan yang dianggap tabu oleh masyarakat.
Laki-laki itu, Andi Narendra, guru matematika kelas XI, mengalihkan perhatiannya ke para murid yang melingkarinya dan menunjukkan sekantong besar plastik berisi apel merah yang tampak segar, "tenang saja, tenang saja, kalian juga kebagian."
"Mengenai kerjamu ini, tenang saja, bapak hanya akan memerhatikanmu dari jauh, sebagaimana tugas seorang guru, oke?" Andi Narendra, malam itu berkata dengan lembut di akhir pertemuan mereka sambil menepuk halus kepalanya.
Mungkin saja sejak malam itu, Nirina Anindya berusaha mengabaikan sebuah tunas yang muncul dalam hatinya, sesuatu yang tidak seharusnya siswi 2 SMA itu miliki pada seorang Andi Narendra.
Padahal, ia sendiri setuju mengenai pandangan umum untuk hal ini, bahwa seorang siswi tidak boleh memiliki perasaan berlebih sebagai seorang perempuan kepada seorang laki-laki yang menjadi gurunya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABC Between Us
Teen FictionApakah cinta ini akan berakhir seperti deretan huruf tanpa makna yang menyatu menjadi sebuah kata bermakna? Ataukah hanya berakhir seperti rangkaian huruf tanpa makna yang hanya menemui akhir di sebuah konsonan? "Cinta itu Abstrak," mereka bilang...