"Kakak tertua! Kakak tertua!"
Rina mendegus sebal dan memasang wajah bosan menanggapi orang yang sejak tadi-atau entah sejak kapan-mengekorinya seperti anak bebek, "kenapa lagi? Dan, nama gue Nirina Anandya bukan kakak tertua."
"Oke, Nirina Anandya. Nama gua Ray Sadewa, salam kenal." Ray tersenyum lebar, segera meraih tangan kanan Rina dan menggenggam tangannya, seolah baru berkenalan untuk pertama kalinya.
Gadis itu memutar bola matanya dan menarik tangannya. Akhirnya, ia memilih memutar badannya dan memberi perhatian penuh kepada teman sekelasnya itu. Ini lebih baik daripada membiarkan suara Ray terus menusuk telinganya sejak ia keluar kelas, "jadi, ada apa, Ray?"
"Yep. Akhirnya lo mau menanggapi gua, kak." Balasnya, belum melepaskan wajah dengan senyum khasnya-senyum yang menurut para siswi dapat melemahkan jantung mereka. "Tahu gak kak, sejak tadi orang-orang pasti mengira gua stand up gila yang gagal."
"Eh, sejak tadi lo melawak? Woah, sorry." Timpal Rina, lalu kembali berjalan menuju kantor guru begitu menganggap waktu menjawab Ray sudah selesai.
Ray tertawa kecil mendengar nada suara mengiba paksa yang disampaikan dengan wajah datar Rina, "anyway, lo gak mau mengoreksi panggilan kakak gua barusan?" lalu, dengan ringan mengalihkan topik sambil menyusul langkah Rina.
"Percuma." Jawabnya singkat, tidak sedikitpun melirik ke laki-laki yang mendadak sering berada di sekitarnya akhir-akhir ini. Rina tidak ingat bagaimana dan sejak kapan ia jadi berbicara seintensif ini dengan Ray, seperti mengajaknya berbicara, melemparkan jokes yang bahkan tidak bisa disebut jokes, dan apa lagi? Entahlah ia tidak begitu mengingatnya. Ia tidak begitu peduli, toh.
"Jadi, harus bagaimana lagi?"
Tiba-tiba, suara ringan Ray berubah. Ia yang bertanya dengan intonasi serius membuat Rina tidak bisa menolak untuk menghentikan langkahnya dan menatap bingung kepada laki-laki di sampingnya itu.
Ray pun memutar badannya, membuatnya menghadap penuh kepada gadis itu. Ia dengan tenang mengendalikan situasi di antara mereka, berjalan maju perlahan dengan matanya yang cepat mencuri fokus manik hitam Rina, berhasil membuat gadis itu tidak bisa melakukan apapun selain berjalan mundur tanpa disadarinya. "Rin, harus bagaimana lagi caranya agar lo memperhatikan gua untuk sedetik saja?"
Rina yang awalnya kaget begitu menyadari punggungnya sudah sangat tegak terhadap dinding sekolah di belakangnya, kini menemukan wajah Ray yang sudah sangat dekat dengannya, menatapnya begitu dalam, dan melontarkan pertanyaan yang.. hebatnya membuatnya merinding menggelikan. Maka, ia pun mengerutkan alisnya, "hah? Lo-
"Oi."
Spontan, mereka berdua menoleh ke sumber suara yang memotong protes Rina barusan. Pak Andi yang sedang bersender ke sisi pintu kantor guru dengan kedua lengan yang disilangkan di depan dadanya dan memasang senyum menakutkan. "Apa yang kalian lakukan di sekolah begini?"
"Jadi, kenapa bapak harus membuang hari libur berharga untuk membantu hukuman kalian?"
Mata Rina mengerjap beberapa kali, menghentikan kenangan buruk hari itu demi mendapati pak Andi yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Pada hari minggu yang cerah ini. Di sebuah kawasan belanja perabotan yang terkenal di kotanya, laki-laki itu datang dengan penampilan kasual, kaos abu-abu dan celana jins hitam, meski rambutnya masih khas pak Andi saat di sekolah. Rina akhirnya mengalihkan pandangannya kepada Ray yang berdiri di sampingnya sejak sepuluh menit yang lalu, "lo memanggil pak Andi, Ray?"
Ray memasang senyum licik, menjawab kedua pertanyaan yang kurang lebih isinya sama. "Begitulah. Gua 'kan harus berterima kasih kepada seorang guru yang mengorbankan hari liburnya karna sejak awal beliau yang membuat kita dapat hukuman begini."
KAMU SEDANG MEMBACA
ABC Between Us
Teen FictionApakah cinta ini akan berakhir seperti deretan huruf tanpa makna yang menyatu menjadi sebuah kata bermakna? Ataukah hanya berakhir seperti rangkaian huruf tanpa makna yang hanya menemui akhir di sebuah konsonan? "Cinta itu Abstrak," mereka bilang...