Nirina Anandya, sungguh seorang gadis yang sederhana.Ia tidak pernah memakai kosmetik, baju ataupun outfitnya juga tidak pernah ia perhatikan, dan jangan bertanya lengkung tubuhnya, percuma saja. Tapi, justru berkat penampilan sederhananya itu ia tidak pernah mengalami hal menakutkan yang sering terjadi pada perempuan.
Namun, sepertinya kali ini ia merasakannya. Sebenarnya, ia tidak pernah resah saat menjaga minimarket di malam hari, tapi malam ini berbeda--ia harus shift malam sendirian dan seorang pelanggan yang datang beberapa menit sebelum tutup semakin memperkeruh perasaannya. Seorang pria yang berbadan besar datang membeli sebotol air mineral dan kini pria paruh baya itu menatapnya tepat di hadapan matanya. Tidak seharusnya ia berperasangka buruk, ia tahu itu, namun pandangan pria itu terasa menjijikkan di tubuhnya.
"Rin, hari ini pulangnya jangan kemalaman, ya."
Keadaan ini memicu perkataan pak Andi tadi sore kembali menggema di kepalanya. Sore itu, Rina hanya bisa mengerjapkan mata, kaget melihat gurat serius yang tergambar di wajah laki-laki itu. Biasanya, pak Andi mengatakan hal seperti itu dengan senyum seorang guru yang sekedar mengingatkan muridnya untuk tidak membebani dirinya dan jangan lupa istirahat.
"Tambah rokoknya satu, dek."
Ia harus menyelesaikannya dengan cepat. Tapi, saat ia berbalik badan untuk mengambil rokok di belakang raknya, derik pintu pembatas ruang kasir terdengar.
Pria paruh baya itu telah masuk ke ruang kasir dengan nafas terengah-engah.
"Maaf pak, pelanggan tidak boleh masuk ke sini." Rina berkata tegas, berusaha menutupi getaran suaranya akibat ketakutan dan mengabaikan jantungnya yang berdetak kencang. Tapi, pria itu hanya menyunggingkan senyum dan bergerak semakin mendekat ke arahnya dengan mata yang terlihat jelas semakin lincah menelusuri setiap senti tubuhnya.
"Nirina Anandya, kamu bisa janji ke bapak untuk pulang cepat hari ini, 'kan? Dengar, kali ini bapak benar-benar memintamu untuk tidak pulang terlalu malam."
Benar juga, ia besok harus meminta maaf karena telah melanggar janjinya. Rina harus bertemu pak Andi dengan kondisi tanpa kehilangan satu apapun dan tanpa menunjukkan guratan trauma sesedikit apapun yang mungkin akan muncul di wajahnya.
Hanya begitu saja, keberanian mulai muncul di balik tubuhnya yang gemetaran.
Rina membuang nafas dengan keras, berusaha mengontrol tubuhnya dengan baik, dan segera ia mengambil pertahanan terakhirnya yang selalu ia letakkan saat shift malam, tongkat pel dari bawah meja kasir.
Bersamaan dengan gerakannya saat ia mengambil tongkat pel tersebut, pria itu semakin mendekatinya dengan cepat. Maka, tanpa ragu sedikitpun, tepat saat jangkauan lengan pria itu sudah beberapa senti lagi mengenai pinggangnya, Rina menodongkan batang besinya tepat ke arah selangkangan pria itu, membuat lengkingan kesakitan menggelegar di minimarket yang sudah sepi itu. Titik vital pria itu kena dengan cemerlang.
Ia berhasil!
Rina segera mengambil kesempatan kabur, ia pun berlari keluar dari ruang kasir ketika laki-laki itu terjatuh dengan tangan yang memegang bagian tubuhnya yang menjerit nyeri.
"Sialaan!!"
Tangan Rina semakin mencengkram tongkat pelnya, ketakutan melihat tatapan emosi yang dilemparkan laki-laki itu kepadanya. Tidak, ia tidak boleh kalah oleh ketakutannya. Ia masih bisa menghadapi lawan yang tanpa senjata sepertinya. Maka, Rina kembali maju mendekati meja kasir, memegang bagian kain pelnya, dan menyapukan tongkat besi pelnya sejauh mungkin agar dapat mengenai sisi kiri badan pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABC Between Us
Teen FictionApakah cinta ini akan berakhir seperti deretan huruf tanpa makna yang menyatu menjadi sebuah kata bermakna? Ataukah hanya berakhir seperti rangkaian huruf tanpa makna yang hanya menemui akhir di sebuah konsonan? "Cinta itu Abstrak," mereka bilang...