Tak ada pilihan lain selain ini, pak Andi.
Rina menyunggingkan senyum lirih, betapa menariknya cara kerja otak manusia itu. Ini ajaib sekali, ia hanya perlu memegang kursi kayu panjang yang mengisi sudut kiri di salah satu taman sekolah ini dan rentetan memori yang terkait dengannya sudah mampu terputar dalam sekejap.
Memori mengenai dirinya dengan pak Andi pada kursi kayu panjang ini.
Juga, kehangatan yang ikut mengalir lembut.
Tidak masuk akal memang, tapi ia benar-benar mampu merasakannya. Entahlah, mungkin ini karena ia sudah terlalu candu dengan suatu perasaan se-abstrak ini. Rina berani menuduh itu hal abstrak karena memang ia tidak mengerti bagaimana bisa ada suatu kehangatan yang tercipta tanpa perlu berkata-kata.
Rina hanya perlu mengetahui bahwa pak Andi dan dirinya duduk bersebrangan di kursi kayu ini, saling tenggelam dalam dunia mereka sendiri, dan hanya begitu saja, ia merasakan sebuah kehangatan yang menyenangkan.
Kini ia rindu akan kehangatan tersebut.
Tanpa ia sadari, alisnya bertaut dalam seraya ia membatin keras-keras dalam hatinya bahwa kehangatan yang ia rasakan selama ini darinya sama sekali tidak salah. Kehangatan itu mungkin abstrak, tapi benar-benar terasa nyata.
Pak Andi yang sehangat itu mana mungkin melakukan suatu tindakan yang bertolak belakang sekali dengan kehangatan itu, bukan?
"Lo benar-benar yakin mau melakukan itu, Rin?"
Suara khas Ray membuyarkan lamunannya. Kali ini, Rina tidak terkejut menemukan Ray yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya, ketika ia sendirilah yang menarik Ray ke taman kecil yang tidak ramai dikunjungi siswa yang lebih suka bermain di lapangan atau jajan di kantin ini-mau bagaimana lagi, ia terbiasa menenangkan hati disini.
Rina akhirnya menggumam saat mengiyakan pertanyaan Ray, "keputusan gue sudah bulat, Ray. Mau gue berputar-putar di sekitar suatu titik, pada akhirnya, gue harus kembali ke titik awal itu."
Ray tidak bisa ambil pusing lagi dengan analogi Rina yang terlalu rumit untuk kupingnya, ketika sejak awal ia sama sekali tidak setuju dengan keputusan gadis di hadapannya ini. "Lo ini ya, Rin.. lo itu tipe-tipe cewek blak-blakan, tahu?" Ia berseru kesal, sambil mengacak-acak rambutnya, "Sejauh apapun yang gua bayangkan soal rencana lo, yang ada di bayangan gua hanyalah lo memperkenalkan diri ke kak Miranda dan tanpa basa-basi, lo pasti langsung menanyakan kejelasan video itu ke orangnya langsung!"
"Tentu saja gue harus menanyakan video itu ke kak Miranda langsung, Ray!" Rina ikut meninggikan suaranya, tangannya mengepal mengingat bagaimana video itu menayangkan pak Andi dan kak Miranda di dalamnya. "Gue mana bisa percaya dengan video itu."
Mata Ray membulat melihat bagaimana kondisi Rina sekarang. Kacau sekali, Rina sangat kacau saat ini. Ini bukan Rina yang mereka kenal. Sama sekali tidak ada ketenangan dalam raut wajahnya. Tidak ada keyakinan dalam pancaran matanya. Ia mengepalkan tangannya sebelum akhirnya menanyakan hal ini, "lalu, Rin, bagaimana kalau jawabannya atau hasil usaha lo ini malah memberatkan pak Andi?"
"Gue sejak tadi masih berusaha belajar menerima jika hasilnya itu." Jawab Rina tegas.
Ray masih menatapnya tidak berkedip, ia kira ia bisa menghentikan usaha Rina ini--meski, ia juga tidak mau menghentikannya--namun, perkataan yang bahkan dirinya anggap kasar pun sudah dibayangkan terlebih dahulu oleh gadis ini. "Oke, lo sudah belajar, tapi Rin, di dalam hati lo pasti sudah punya jawaban apa yang ingin lo dengar, kan? Perasaan lo yang seperti itulah yang akan membuat lo menanyakan ke kak Miranda seolah lo menuduh bahwa video itu palsu, tahu!
KAMU SEDANG MEMBACA
ABC Between Us
Roman pour AdolescentsApakah cinta ini akan berakhir seperti deretan huruf tanpa makna yang menyatu menjadi sebuah kata bermakna? Ataukah hanya berakhir seperti rangkaian huruf tanpa makna yang hanya menemui akhir di sebuah konsonan? "Cinta itu Abstrak," mereka bilang...