D- Dasi

56 6 0
                                    


Ini baru pagi jam 6 kurang, tapi Andi Narendra sudah merasa sial sekali hari ini.

Ia memang tidak bangun telat, tapi, ia mengawali hari dengan bangun hanya untuk terkejut ketika menyadari bahwa ia tertidur di depan laptopnya dan meninggalkan soal ujian yang belum selesai ia buat. Ditambah lagi, ujian harus diadakan hari ini. Ia harus segera berangkat ke sekolah lebih pagi dari biasanya dan menyelesaikan soal ujian di ruang guru saja, ia tidak mungkin terlambat masuk sekolah sebagai guru, bukan?
Lucu sekali. Apa bisa setelah ini ia sok menceramahi muridnya untuk mengerjakan tugas di rumah, bukan di sekolah?

Itu baru awal. Jalan yang sudah padat semakin membuat moodnya buruk. Rasanya ia ingin membuka helm dan mengacak-acak rambutnya. Mengendurkan dasinya, melepas kancing atas kemejanya, dan menggulung lengan panjangnya pun belum ia rasa cukup untuk menyamankan dirinya pagi ini.

Dan, konyol sekali ia karna berharap perjalanan tadi puncak kesialannya. Ia yang sedang membeli kopi kalengan di mesin minuman dekat pintu masuk sekolahnya, harus menyaksikan adegan menyakitkan bagi pria dengan umur kepala dua seperti dirinya.

Di pintu masuk sekolahnya yang masih sepi, pak Doni yang baru saja menikah berdiri di sana dengan istrinya yang ikut mengantarkan ia ke sekolah. Tidak sampai situ saja, sang istri yang terlihat berkacak pinggang kemudian merapikan dasi suaminya dengan wajah mesra. Seolah dunia milik mereka berdua. Rasanya, ia bisa melihat ada bunga-bunga cantik yang bermekaran dengan menjijikannya di sekitar mereka.

"Wah, pagi-pagi begini sudah mesra saja, pak." Andi menyapa datar kepada pak Doni, sang suami itu, yang baru masuk dengan wajah sumringah.

Pak Doni tertawa sambil menampar punggung rekan kerjanya itu, "kalau iri cari saja, Di! Nikah enak loh, hahaha!"

"Haha." Kali ini, ia yang tertawa hambar sambil menenggak kopi kalengannya, "tenang pak, umur saya masih 23, kok."

"Iya, nanti tahun depan kamu bilang, 'umur saya masih 24, kok.' lalu, tahun depan, 'umur saya masih 25, kok' dan tahun, tahun depannya lagi. Begitu terus, Di."

"Sebentar, bapak barusan mengutuk saya? Itu kutukan 'kan, pak?"

Gelak tawa pak Doni semakin menggelegar di koridor sekolah yang masih sepi, "Pengalaman, pengalaman. Sayang saja kamu masih muda, ganteng, pintar, penghasilan sudah tetap pula. Jangan lama-lama, Di."

Ia hanya bisa ikut tertawa dengan wajah datar mendengar pujian-pujian yang sudah biasa mampir ke telinganya. Guru-guru senior yang masih mendominasi di lingkungan kerjanya selalu menemukan kebahagiaan dalam interaksi seperti ini, menikmati wajah juniornya yang kalang kabut atau tertawa formalitas. Tapi, dalam kasusnya, nyatanya ada salah satu pujian yang baginya tidak benar.

"Selamat pagi, pak Doni, pak Andi."

Haha, apa ini. Baru saja ia memikirkannya dan gadis itu muncul dari samping mereka.

"Oh pagi, Nirina. Datangnya pagi sekali."

Nirina Anandya, sosok yang membuat pujian bahwa ia masih muda terasa tidak benar di telinganya. Ia tidak bisa mengatakan bahwa ia sendiri nyatanya sudah cukup tua untuk seseorang yang masih berumur 17 tahun, bukan?

"Jangan bilang kamu mau kerjakan PR di sekolah, ya, Rina?" sapa Andi dengan cengiran usil, setelah Rina menyalaminya.

"Tentu saja ti-

Pembicaraan singkat mereka dipotong oleh dering handphone pak Doni. Ia segera mengangkatnya dan menjawab dengan cengiran lebar sambil berlalu meninggalkan mereka berdua, "iya istrikuu?"

Andi baru saja mau mengomentari betapa menggelikannya pemandangan barusan, sebelum ia menoleh ke arah gadis itu hanya untuk mendapati Rina mengamati dirinya dengan sangat lekat. "Ada apa, Rina?"

ABC Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang