“Kenapa nilaimu tiba-tiba turun lagi, Rin?”
Ditanya seperti itu oleh pak Andi, membuat Rina hanya bisa menggigit bibir bawahnya sambil mengedarkan manik matanya. Tidak mungkin ia menjawab terus terang bahwa alasan nilai Matematikanya turun berkaitan secara tidak langsung dengan pak Andi sendiri, apalagi ketika dirinya sendiri tidak percaya akan hal itu.
Masalahnya, ini benar-benar tidak seperti dirinya. Biasanya, entah setinggi apapun hormon adrenalin yang mengacaukan dirinya, ia mampu kembali ke tujuan utamanya beberapa menit kemudian. Alam sadarnya tahu apa yang harus ia prioritaskan, maka ia berhasil mengalahkan tipuan hormon itu. Itulah yang biasa terjadi pada dirinya. Itu yang idealnya muncul pada kontrol dirinya, namun kejadian beberapa waktu lalu mengacaukan kendali kontrol itu.
Kedengarannya menyedihkan memang, ia hanya melihat sekilas wajah seorang wanita--yang sangat cantik dan sepertinya seusia dengan pak Andi--meminta pak Andi untuk menjawab video callnya di hari libur namun itu sudah mampu mengacaukan konsentrasinya untuk belajar. Berulang kali ia berusaha menepis segala kemungkinan buruk mengenai hubungan keduanya yang muncul setelahnya dan ia berhasil untungnya. Rina masih tidak mau membiarkan cinta membuatnya lemah dan menyedihkan, kalah begitu saja dari segala sisi gelap tentang cinta yang ia biarkan tumbuh sendiri.
Namun, keberhasilannya itu hanya bertahan untuk beberapa kesempatan. Ketenangannya yang sudah susah payah ia bangun, hancur begitu saja ketika melihat wanita itu ternyata selalu ada dalam setiap foto pak Andi bersama dengan teman kuliahnya. Memunculkan kembali kemungkinan terburuk yang pernah menghantuinya.
Kemungkinan bahwa pak Andi sudah tidak sendiri lagi.
Hingga akhirnya, disinilah ia. Duduk di kursinya, tepat di deretan paling kiri di kelasnya yang sudah kosong, hanya ada dirinya dan pak Andi yang duduk di depannya. Setelah ujian sebelumnya berhasil membuatnya lolos dari ritualnya, ia harus kembali menelan perasaan sungkan untuk memohon kelas tambahan mengenai materi Trigonometri ini kepada pak Andi.
Ya, pak Andi. Guru yang secara tidak langsung membuatnya kehilangan konsentrasi, guru yang rela pulang lebih lambat untuk mengajari seorang siswi yang diam-diam menyukainya namun malah mengacaukan nilai di mata pelajarannya.
“Hmm.. Sepertinya bapak sudah tahu kamu lemah di bagian apa, Rin. Coba kerjakan bagian ini dan ini.” Pak Andi menunjuk beberapa bagian di buku paket setelah ia menganalisis lembar ujian gadis itu, “bapak akan mengoreksi langsung meskipun hanya satu langkah yang salah. Setelah itu baru kamu benarkan jawaban ujianmu, paham?”
Ia paham betul bahwa nilainya jatuh, ia paham betul bahwa ia sudah sangat merepotkan pak Andi, ia paham betul bahwa ia harus memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya ketika ia hanya punya tiga jam sebelum shift kerjanya mulai. Tapi, dengan konyolnya ia malah memandang kosong kepada laki-laki di hadapannya. Segala kepemahaman itu tidak berkutik di hadapan bayang-bayang keserasian sempurna antara pak Andi dengan Kinan Anggraini--ah, ia baru ingat nama wanita cantik itu.
Menyedihkan sekali ia. Ternyata dirinya pun bisa menjadi sekonyol ini.
“Nirina Anandya.” Pak Andi akhirnya memanggil nama gadis itu dengan penuh ketegasan setelah ia menyadari bahwa hanya fisik muridnya saja yang berada di hadapannya. “Apa kamu mau membiarkan ketidak pahamanmu ini mengurangi kesempatanmu dapat A untuk raport Matematika? Apa sekarang sudah saatnya kita mengucapkan selamat tinggal kepada jalur undangan Fakultas Kedokteran tujuanmu itu?”
Perkataan pak Andi berhasil mengambil alih alam bawah sadar Rina. Segala bayangan yang tidak berkaitan apapun dengan mimpi besarnya mulai mengabur. Kali ini, alam bawah sadarnya memandunya mengambil handphone dari kantung tasnya dan membuka lockscreen handphonenya. Terpampang foto ia, ibunya, dan tiga adik laki-lakinya di depan nama Fakultas Kedokteran impiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABC Between Us
Teen FictionApakah cinta ini akan berakhir seperti deretan huruf tanpa makna yang menyatu menjadi sebuah kata bermakna? Ataukah hanya berakhir seperti rangkaian huruf tanpa makna yang hanya menemui akhir di sebuah konsonan? "Cinta itu Abstrak," mereka bilang...