"Ray! Sejak kapan lu berusaha merebut pacar gua, hah?!"
Rina menghentikan gerakan menyapunya, melihat sumber suara yang tiba-tiba menggelegar dan mematikan segala suara di kelasnya seketika. Ia melengos, membayangkan kekacauan macam apa yang akan terjadi setelah ini. Belum cukupkah hanya segelintir teman-temannya ikut membantu kerja bakti dan sisanya only-god-knows sudah mendefinisikan kekacauan sore ini?
Seorang laki-laki menerobos masuk, menuju kumpulan siswa yang sedang bermain game di pojokan kelasnya, lalu ia mencengkram kerah salah satu dari mereka dengan emosi.
"Heh. Siapa juga yang merebut pacar lo?" Teman sekelasnya yang dipanggil Ray itu hanya menyeringai, meski kerahnya yang ditarik ini sudah mulai terasa mencekiknya. Tidak ada ketakutan sedikitpun dari wajahnya, reaksi yang tentu membuat kemarahan siapapun semakin menjadi-jadi.
Selang beberapa detik, suara tinjulah yang kali ini mengisi ruang kelas yang sunyi. Sebuah bogem mentah berhasil mendarat ke wajah Ray Sadewa.
Akhirnya, suasana kelas pun menjadi sangat ricuh. Ray yang tidak mau harga dirinya jatuh begitu saja segera melawan lawannya yang sama sekali tidak mau kalah. Ketua kelas bersama dengan siswa lainnya sudah gagal melerai dan akhirnya tanpa kata-kata memutuskan memutuskan membuka lingkaran besar yang menjadi arena pertarungan bagi keduanya. Sementara, para siswi hanya bisa menjerit ketakutan, kaget melihat adegan pertarungan secara live.
Bagaimana dengan Rina sendiri? Ah mudah saja, ia tahu apa yang harus ia prioritaskan. Maka, di sela kekacauan ia masih sibuk menyapu ruangan kelas yang belum terjamah.
"Eh, Ri-Rina??! Kok lo masih bisa tenang sih?" Andine dan Tian yang sejak tadi termasuk segelintir orang yang kerja dengan serius, ikut gelagapan dan sudah meninggalkan tugas masing-masing.
Rina menghela nafas pelan, sambil menyapu sampahnya ke serokan. "Yaah.. Sudah banyak orang yang menangani itu 'kan? Kita lakukan apa yang kita bisa. Kalau anak-anak sudah bisa melerai mereka, kerjaan bersih-bersih kita sudah selesai, ya tinggal pulang."
Mereka terdiam beberapa saat mendengar penjelasannya, kemudian serempak setengah berseru, "oh, benar juga. Rin, lo keren banget!"
Rina mendongak dan mendapati kedua mata temannya berbinar-binar. Ia lalu tersenyum sambil berkacak pinggang, "lebih baik gunakan waktu kalian yang habis mengagumi gue buat kembali menyapu, bukan?"
Senyumnya semakin melebar begitu kedua temannya segera kembali ke posisi masing-masing dan melanjutkan tugasnya. Beberapa orang yang termasuk dalam kerumunan penonton pertempuran itu melihat mereka yang masih rajin bekerja dan tanpa perintah apapun mereka pun mundur dari arena terbuka tersebut, segera mengambil sapu dan serokan yang sudah terlantar dan ikut membantu bersih-bersih.
Setiap orang memiliki bagian, perannya masing-masing. Para siswi yang sejak tadi berteriak menyuruh mereka berhenti juga mengerjakan bagiannya, segera memanggil siapapun guru untuk melerai mereka berdua. Dalam waktu singkat, mereka kembali sambil menarik seorang guru.
"Oii, bukankah kalian sudah kelas 2 SMA? Tidak bisakah kalian menyelesaikan masalah ini sendiri?" Pak Andi, guru yang baru saja masuk hanya membalas puluhan sambutan minta tolong yang ditujukan kepadanya dengan jawaban bernada malas sambil menggaruk kepala bagian belakangnya yang tidak gatal.
Meski wajah yang pak Andi tunjukkan sudah jelas menunjukkan bahwa ia tidak mau berusaha melerai mereka, para murid tetap bernapas lega begitu melihat seorang guru sudah dipanggil untuk membantu menyelesaikan kericuhan ini. Hanya tinggal masalah waktu hingga pertempuran ini selesai.
Itu yang tadi mereka pikirkan. Itu yang memang seharusnya terjadi. Tapi, nyatanya tidak.
"Wahaha! Gara-gara cewek doang? Konyol banget, oi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ABC Between Us
Novela JuvenilApakah cinta ini akan berakhir seperti deretan huruf tanpa makna yang menyatu menjadi sebuah kata bermakna? Ataukah hanya berakhir seperti rangkaian huruf tanpa makna yang hanya menemui akhir di sebuah konsonan? "Cinta itu Abstrak," mereka bilang...