'Tataplah lurus ke depan dan tidak usah engkau menoleh kembali ke belakang.'
Begitu saran orang-orang mengenai kehidupan. Ia adalah seseorang dengan pengalaman 23 tahun hidup hanya dengan pola pikir sederhana, maka ia menurutinya.
Andi Narendra pun membuang masa lalunya.
Baiklah, ia menyerah. Ia tidak bisa mengatakannya sepenuh hati. Oh maksudnya, ia bisa yakin bahwa ia telah melakukannya-- lagipula, ia sudah berani merantau ke kota ini dari kota kelahirannya dan hidup mandiri. Mungkin bagi beberapa orang jarak dua kota tersebut belum sejauh pengalaman merantau mereka, tapi, bagaimana jika ia mengatakan bahwa ia sudah sengaja tidak pulang dua tahun terakhir ini?
Ya, ia sudah memutuskan membuang masa lalunya. Menenggelamkan diri dengan setumpuk pekerjaan, tertawa dan geram ketika mengoreksi jawaban muridnya, menambah segala kepanitiaan kegiatan sekolah ke jadwalnya, bermain game ketika sedang suntuk, dan melakukan hal apapun yang bisa membuatnya tidak berpikir sedetikpun mengenai masa lalunya, mengenai keluarganya.
Namun, kenyataannya ia memang belum sepenuhnya membuang masa lalu. Ketika selembar foto usang yang ia simpan di dompet bagian terdalamnya, masih memaksanya bermain ke kenangan masa lalunya. Meski hanya ujung fotonya yang sedikit terlihat, ia bisa mengirimkan kutukan tak berujung ke adiknya yang bisa-bisanya menyelipkan foto ini tepat sebelum ia pergi dari rumah.
Hingga suatu hari, foto itu hilang begitu saja. Lenyap tak bersisa dari lapisan dompet terdalamnya.
Seperti harapannya selama ini.
Jangan bertanya kepadanya bagaimana cara ia menyadari foto dengan ukuran sedang yang tersimpan di balik entah-apapun-itu di dompetnya telah hilang. Ia hanya tidak menemukannya siang itu. Merasa tidak beres, ia mengeluarkan seluruh isi dompetnya di atas meja kerjanya dan hasilnya nihil. Tidak ada selembar foto apapun di dompetnya.
Maka, ia mengendurkan punggungnya yang tadi sempat menegang. Seraya menyenderkan dirinya ke bangku empuknya, ia tersenyum kecil. Ya, akhirnya kesempatan untuk lepas dari kutukan itu datang. Ia yang sejak setahun lalu hanyalah setengah Andi Narendra kini bisa menjadi seorang Andi Narendra yang baru, seutuhnya. Itu sungguh sebuah kabar baik.
Kabar buruknya, tetap saja rasanya ada yang janggal.
Oh tidak, bukan tiba-tiba ia menjadi lembek atau kembali bermental seperti remaja labil yang bingung memutuskan hal terbaik bagi hidupnya. Hanya saja, ini rasanya curang. Ternyata, kesempatan ini datang semudah itu ketika ia sudah beratus kali memikirkan bagaimana mendatangkan kesempatan ini. Jika dianalogikan, ini sama saja seperti kemenangan pada pertandingan puncak melawan rival abadi hanya karena sang rival terdiskualifikasi sebelum pertandingan. Itu konyol sekali, bagaimana bisa ia merasa menang seutuhnya?
Maka, ia mengambil langkah sebagaimana seorang guru Matematika bersikap. Ia memasang taruhan, sebuah probabilitas dalam menemukan kembali fotonya itu dengan proporsi yang sama, 50 : 50. Oleh karena itu, jika ia berhasil memenangkan pertaruhan ini ia bisa mengangkat kepalan tangannya dengan bangga. Sukses melepaskan segala rantai yang membelenggu dirinya.
Tidak ada kemenangan tanpa pergerakan. Ia pun mulai mengusut kembali segala kejadian yang kemarin terjadi padanya dan tempat yang sudah ia lalui. Jadi, itulah alasannya kenapa pada sore itu ia memutuskan mengunjungi cabang minimarket baru yang terletak hanya beberapa belas meter dari kontrakannya. Jaraknya memang dekat, tapi sejujurnya ia agak menghindari minimarket ini.
"Pak Andi? Selamat sore, pak. Wah, kebetulan sekali, ya pak."
Andi Narendra hanya bisa tersenyum kaku setelah ia disalami oleh seseorang yang membuatnya menghindari minimarket ini, Nirina Anandya yang mengatakan kebetulan dengan wajah tanpa dosa.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABC Between Us
Teen FictionApakah cinta ini akan berakhir seperti deretan huruf tanpa makna yang menyatu menjadi sebuah kata bermakna? Ataukah hanya berakhir seperti rangkaian huruf tanpa makna yang hanya menemui akhir di sebuah konsonan? "Cinta itu Abstrak," mereka bilang...