10-KATYA

2.4K 176 4
                                    

"Seseorang itu adalah perempuan yang baru saja berkata bahwa dia berandai-andai mempunyai anak seperti Jeje."

Aku diam mematung. Pikiranku berkecamuk didalam sana, berusaha memahami kata per kata yang diucapkan Om Gilang barusan.
Ini... Aku nggak salah dengar, kan?

"Om bercanda, ya? Hahahaha lucu banget om bercandanya," aku tertawa paksa, jantungku sedang marching band didalam sana. Sumpah, bergemuruh banget.

"Di umur saya yang sekarang, apa pantas saya bercanda untuk masalah seperti ini?"

Aku terdiam. Membenarkan apa yang Om Gilang katakan. Tapi, yang dimaksud Om Gilang itu beneran aku? Bukannya aku merasa percaya diri atau apapun, tapi kan perempuan yang barusan bilang kalau pingin punya anak kayak Jeje cuma aku. Atau jangan-jangan ada yang lain sebelum aku?

"Tapi saya nggak bakal maksa kamu, Kat." Om Gilang meneguk jus kedondong-nya, lalu menatapku intens. "Kamu nggak perlu jawab sekarang. Saya nggak ingin kamu terpaksa, atau terburu-buru. Kalaupun kanu nolak saya, juga jangan sekarang. Saya belum siap patah hati. Besok-besok aja,"

Aku masih terdiam. Aku rasa kata patah hati nggak cocok buat dirinya yang sudah berumur 31 tahun.

"Saya kasih kamu waktu 3 hari, cukup kan? Kamu hanya perlu bertanya pada diri kamu sendiri, pada hati kamu sendiri. Mampukah kamu menjadi seorang Ibu bagi Rajendra dan maukah kamu menjadi istri saya. Untuk masalah orang tua, nanti saya yang akan membicarakan pada orang tua kamu. Kamu tenang aja, untuk masalah yang satu itu, biar saya yang urus."

Aku mengernyit, baru menyadari bahwa nama asli Jeje itu Rajendra. "Saya duluan ya, Om. Ada urusan. Permisi,"

Aku segera mengambil kunci mobilku didalam tas dan segera meninggalkan restoran itu dengan perasaan yang kacau. Yang benar saja, aku itu baru bertemu dengan Om Gilang sekitar 1 bulan. Dan sekarang dia sudah memintaku menjadi istrinya? Menjadi Ibu dari Rajendra?

-

"Kenapa sih, Dek? Muka kusut amat." tanya Bang Regan yang masuk kamarku tanpa ijin.

"Abang! Dibilangin berkali-kali, kalo mau masuk kamar Katya ketok dulu! Kalo Katya lagi ganti baju gimana!?" aku sontak melemparkan sisir di tangan kananku kearahnya, yang berhasil ditangkap oleh Bang Regan.

"Yah, nggak apa-apa sih." Bang Regan terkekeh sebentar, lalu melanjutkan. "kan jadi pemanasan gitu biar nggak kaget nanti pas Abang menik--ASTAGFIRULLAH BERCANDA KAT!"

Bang Regan menutupi wajahnya dengan satu tangannya dan tangan yang lain menahan tanganku. Gila dia, parah. Otaknya harus di permak.

"Abang serius, Kat. Kamu kenapa sih? Kusut banget hari ini. Ada masalah apa?"

Aku beringsut di dada bidang Bang Regan, lalu memeluknya. Wajahku segera kubenamkan disela ketiaknya, tempat favoritku. "Abang..."

Kurasakan Bang Regan membelai lembut kepalaku, seraya sesekali mengecupnya, "kenapa sih, Kat? Abang bukan peramal, nggak bisa nebak-nebak gitu. Cerita dong sama Abang."

Aku mengangkat kepalaku lalu menatap Bang Regan dengan mata berair. "Katya habis dilamar orang, Bang."

"Kamu... dilamar? Sama siapa, Kat? Kok tiba-tiba gini?"

Aku menggigit bibirku, agaknya aku salah kalau langsung ngomong bahwa aku barusan dilamar orang. Duh, Kat. Bego banget sih!

"Katya jawab pertanyaan Abang. Sama siapa?"

Aku menatap Bang Regan takut-takut, "sama Gilang."

"HEH?"

Bang Regan membulatkan matanya. Ia menatapku kaget sekaligus... emosi?

"Gilang yang duda satu anak itu? Yang pernah bawa anaknya kesini? Yang bawa martabak?!"

Aku mengangguk. Yah, memang Gilang yang mana lagi yang Bang Regan dan aku kenal? Kan, cuma si Om Gilang duda ganteng itu.

"Kok bisa kamu yang dilamar?" Bang Regan nggak segan-segan menanyakan beribu pertanyaan yang hinggap di otaknya. Aku tentu nggak mampu buat menjawab.

"Nggak tau, Abang... Dia tiba-tiba aja gitu ngelamar Katya.."

Kulihat rahang Bang Regan mengeras, dia memejamkan matanya sebentar, mungkin untuk meredam emosinya. "Besok, suruh dia datang kekantor Abang. Abang perlu bicara sama dia."

-

Aku jelas gugup.

Bang Regan dengan wajah seriusnya sedang menyetir dan mata tajamnya menatap fokus jalanan didepannya.
Kami sedang menuju ke kantor Bang Regan, tentu saja buat bertemu sama Gilang. Om Gilang maksudnya. 

"Santai aja, Kat. Abang nggak akan gigit si Gilang, apalagi nerkam, apalagi ngoyak. Tegang amat,"

Aku menoleh kearah Bang Regan, menunjukkan cengiran andalanku, berusaha menutupi kegugupan dan keteganganku. Lagian, ngapain juga sih aku gugup? Aku kan juga nggak jatuh cinta sama si Om Gilang.

"Saking gugupnya nggak sadar kalau kita udah sampe daritadi ya, Kat?" Bang Regan bersuara lagi. Kali ini sambil melepas sabuk pengamannya.

Lagi, aku menampakkan cengiranku. "Nggak gugup, Bang. Apaan sih, alay deh Abang."

Bang Regan menggelengkan kepalanya, lalu keluar mobil dan menuju lift di basement.
Aku memegang dadaku, berusaha menetralkan detak jantungku yang melompat-lompat didalam sana. Demi apapun ini aneh banget. Aku sama sekali nggak ngerti kenapa aku deg-degan kayak gini.

Aku berlari menuju lift yang hampir aja tertutup. Emang dasar ya, Bang Regan! Tega amat sama adeknya sendiri.

"Gilang udah sampai, Kat?" tanya Bang Regan membuka obrolan. Aku menoleh, lalu mengedikkan bahuku.

"Nggak tau."

Bang Regan mengernyitkan dahinya, "kok nggak tau? Kabarin dulu sana, tanya dja udah dimana."

Lha, mampus! Aku kan nggak punya kontak si Om. Ngajak ketemuan aja aku kemarin datengin rumahnya. Masa sekarang aku harus kerumahnya juga? Matilah, Kat.

"Cepetan, Kat."

Aku menggaruk atas bibirku. Berusaha mencari alasan apa yang logis yang dipercaya Bang Regan. "Katya nggak ada pulsa, Bang. Nggak ada kuota juga. Nggak bisa ngehubungin Gilang..."

Bang Regan terkekeh kecil, "Katya, kamu kira kantor Abang apaan sih? Kantor pos? Nggak ada wifi gitu?"

Aku terdiam. Cepat-cepat memikirkan alasan logis lainnya, "abis batre, Bang. HP Katya. Nggak bisa ngehubungin Gilang."

Bang Regan menghela napas, lalu mengambil ponsel di saku jasnya, "nih, pake punya Abang."

"Eeh nggak bisa!" Aku menggelengkan kepalaku cepat, "kan Katya nggak hafal nomor hpnya, jadi nggak bisa pake punya Abang."

Lagi, Bang Regan menghela napasnya lalu memasukkan ponselnya kembali kedalam saku jasnya.
Hah, kadang-kadang aku bersyukur bisa cerdas saat kepepet seperti ini.

-

ngetik kilat bgt ni! wish u guys like it!

The Distance Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang