15-GILANG

1.9K 124 3
                                    

Aku melihat perempuan di hadapanku. Cantik, anggun, rambutnya yang lurus sepunggung tampak meraung-raung ingin diusap. Dia Jasmine Rasyita, calon istriku, pilihan kedua orang tuaku.

Bukan, bukannya aku yang nggak laku. Aku bukan laki-laki tua yang tidak mendapatkan jodoh sampai sekarang. Aku seorang laki-laki berumur 26 tahun, bekerja sebagai General Manager di perusahaan turun temurun milik keluarga. Jangan berpikiran juga bahwa ini adalah perjodohan bisnis. Ini adalah perjodohan karena Mami dan Bu Nirah---Ibu Jasmine---pernah berjanji kalau anaknya berbeda kelamin maka akan dinikahkan.

Aku sendiri nggak tau apa yang ada di pikiran mereka sampai-sampai aku tetap dijodohkan, sekalipun ini sudah bukan jaman Siti Nurbaya.

"Gilang.. Mami dan Bu Nirah sepakat, pernikahan kamu dan Jasmine dilaksanakan satu bulan dari sekarang. Kamu setuju kan?" Aku menoleh kearah Mami dan Bu Nirah yang menatapku dengan tatapan antusiasnya.

Aku mengangguk samar. Mungkin kalian heran, apa yang membuatku nggak membantah segala keinginan orang tuaku. Aku rasa, sekuat apapun aku menolak, perjodohan ini akan terus berjalan sebagaimana mestinya. Dan juga, calon istriku nggak mengecewakan. Cantik, anggun, bisa dibanggakan didepan relasi-relasi-ku. Bukan hal yang sulit untuk jatuh cinta kepada Jasmine, kurasa. Toh, katanya cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu.

-

Nyatanya, pepatah "cinta tumbuh seiring berjalannya waktu" dan "cinta tumbuh karena terbiasa" sama sekali nggak berlalu baik kepadaku maupun Jasmine. Kami nggak mencintai satu sama lain, perasaan sayangpun sama sekali nggak tumbuh didalam hati kami berdua.

Ini sudah hampir 3 bulan pasca pernikahan kami, tapi baik aku maupun Jasmine masih sama-sama nggak merasakan suatu perasaan apapun. Dan kini aku percaya, bahwa kedua pepatah itu hanya omong kosong belaka.

"Aku kira aku bakal cinta sama kamu setelah kita udah melakukan itu, Lang,"

Aku menatap Jasmine, lalu tertawa pelan, "jangan bilang kamu nyesel karena udah ngelakuin sama aku, apalagi tanpa cinta."

Ya, aku dan Jasmine memang sudah melakukan sunah Rasul. Katakan kami bodoh, katakan kami termakan nafsu, tapi itu semua kami lakukan semata-mata hanya karena mengabulkan keinginan kedua orang tua kami, terlebih Mami dan Bu Nirah yang sudah menantikan kehadiran cucu yang sekarang sedang tumbuh di rahim Jasmine.

"Nggak, bukan gitu.. Aku nggak nyesel," Jasmine bersuara. "Yaa, mungkin nyesel dikit, karena sampai sekarang aku nggak merasa aku cinta sama kamu."

Aku terkekeh, lalu membelai rambut panjangnya. Aku sama sekali nggak sakit hati karena perkataannya, karena aku juga begitu. Rasa sayangku terhadap Jasmine hanya sebatas rasa sayangku karena menganggap dia sebagai adik, bukan sebagai istri, apalagi teman hidup.

"Kalau kita cerai, kira-kira Mami sama Ibu bakal kaget nggak ya?"

Aku melotot mendengar pertanyaan Jasmine. Jelas aku kaget, nggak pernah terbesit dipikiranku bahwa kami akan bercerai, walaupun aku nggak mencintai Jasmine. Pernikahan dan rumah tangga bukan untuk main-main.

"Kamu mau kita cerai?" Tanyaku memastikan, yang dibalas dengan anggukan dan tatapan polos Jasmine.

"Tapi nanti, habis aku melahirkan. Kan katanya nggak boleh cerai pas lagi hamil."

Aku menatap Jasmine tidak percaya, "Jas, se-nggak cintanya aku sama kamu, aku nggak akan berpikiran bahwa kita akan cerai. Nggak sekalipun." Aku menyisir rambutku kebelakang, "Pernikahan itu adalah suatu momen sakral di hidupku. Sekali seumur hidup buatku. Aku menikah sama kamu bukan untuk main-main, bukan sekedar untuk ngehamilin kamu, terus habis itu kita cerai. Niatku nikahin kamu karena aku pengen membangun rumah tangga yang baik, yang sakinah mawaddah dan warahmah."

The Distance Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang