9-GILANG

2.5K 202 11
                                    

Oke. Aku cukup terkejut akan kata demi kata yang menjadi kalimat yang keluar nggak lain dan nggak bukan dari mulut Jasmine, dihadapanku, Mami, dan Rajendra. Tolong garis bawahi bagian Rajendra.
Raut wajah Rajendra setelah mendengar ibunya bicara seperti itu nggak jauh dari dugaanku. Dia bahagia. Bahagia sekali. Nggak jauh beda juga dengan Mami. Sudah aku bilang, mereka itu satu komplotan, seolah-olah Katya sebagai calon istriku adalah kenyataan, padahal juga belum tentu.

"Kapan Mami mau dikenalin sama Katya sih, Lang? Nggak baik kamu ya, ngumpet-ngumpet dibelakang Mami. Udah tua juga," tanya Mami kepadaku. Saat ini kami sedang berada di salah satu meja yang bersebrangan dengan meja Regan dan Katya. Bahkan aku baru tau bahwa Regan adalah kakaknya Katya setelah perkenalan dan penjelasan singkat dariku.

"Lang! Ditanya juga. Tuh, kan. Kamu ini sebenarnya juga udah nggak sabar mau nikahin Katya, makanya diliatin terus sampai Mami dicuekin,"

Aku mengerjapkan mataku lalu menatap Mami jengah, "Gilang sama Katya itu nggak ada hubungan apa-apa, Mami. Kami itu cuma bertetangga, nggak lebih."

"Ih, kamu ini!" Mami memukul pundakku. "Kata siapa nggak lebih? Siapa tau kamu ini pacar lima langkah, Lang. Kayak lagu dangdut kesukaannya Bi Imah"

Aku bergidik ngeri. Mami memang suka banget mendramatisir keadaan. Kenapa juga harus dihubungin sama lagu dangdut? Kayak nggak ada yang lainnya aja.

"Jasmine aja udah mau menikah lho, Lang. Kamu kapan? Kasian itu Jeje udah nunggu, kasian Mama juga kan udah pengen cepet-cepet gendong cucu lagi." Kata Mami semangat.

Aku menghela napas lelah. Selalu itu yang menjadi senjata andalan Mami untuk meruntuhkan pertahananku. Aku sendiri sebenarnya juga sudah ingin berusaha untuk mengubah pandanganku, aku juga ingin---agak---untuk menikah lagi, demi Jeje dan Mami. Tapi masalahnya disini, mana ada wanita yang mau dengan duda satu anak sepertiku? Mana ada wanita lajang yang mau selain wanita lajang matrealistis?

"Mami kira gampang ya, Mi, cari perempuan yang mau Gilang jadiin istri, wanita yang nggak matrealistis, dan wanita yang sayang sama Jeje lebih dari dia sayang sama Gilang? Susah, Mi." aku mengurut keningku perlahan. Mami membuka mulutnya, tapi langsung kupotong, "Gilang tau, mungkin Mami mau menyarankan Katya sebagai kandidatnya. Tapi Mami sadar nggak, sih? Katya itu masih terlalu muda untuk jadi istri Gilang. Katya sama Gilang itu beda 10 tahun lho, Mi. Cukup jauh, pikiran kami pasti nggak akan nyambung."

Mami mengernyit, lalu berdecak kesal. Beliau berdiri dari duduknya lalu merapikan bajunya. "Yang Mami nggak suka dari kamu, Lang. Kamu selalu menilai sebelum kamu mencoba. Kamu selalu mendahului takdir."

-

Nggak Mami, nggak Jasmine, nggak Rajendra. Semuanya menjadikan Katya sebagai satu-satunya kandidat buat menjadi istriku.
Yah, kalau boleh jujur sih aku juga nggak menolak. Toh aku melakukan ini kan demi Mami, Jasmine, dan Rajendra. Tapi yang jadi pertanyaan, memangnya Katya siap?

Aku rasa enggak. Bahkan dia bakalan lebih dari kaget kalau aku menyampaikan bahwa aku mau memperistri dia. Dia bakal mengira kalau aku duda genit, om-om genit, atau apalah itu.
Tuh, kan. Benar kata Mami. Selalu aja aku menilai sebelum aku mencoba.

"Jadi, ada perlu apa ya, Om? Kok ngajak makan siang?"

Aku mendongak, mataku bertemu dengan mata coklat Katya. Hampir saja aku lupa bahwa sekarang aku sedang bersamanya. Makan siang di cafe dekat sekolah Rajendra.

"Oh, itu." Aku berdeham sebentar. Berusaha mengendalikan diriku, "Orang tua kamu, kapan ada dirumah?"

Katya membulatkan matanya. Dia sedikit membuka mulutnya. Jelas saja dia kaget, aku salah memilih kalimat. Bodoh sekali ya kamu, Gilang.

"Emangnya kenapa ya, Om?"

"Eh, itu." Aku mengetuk-ngetuk jariku di meja, berusaha mencari jawaban bohong apa yang tepat untuk aku sampaikan kepada Katya. "Aku, maksudnya, saya mau ngomongin proyek kerjaan saya bersama Regan."

Katya mengernyit, "...oke?"

"Dan orang tua kamu harus tau, karena ini proyek besar, proyek penting." Jawabku cepat.

Aku menggerakkan kakiku gelisah, aku amat sangat tidak berbakat dalam hal berbohong, jadi untuk orang yang mengenalku dengan baik, pasti tau kalau aku sedang berbohong.

"Ayah pulang minggu depan, Om."

Aku manggut-manggut. Tanganku bergerak mengaduk-aduk Ristretto Bianco milikku. Pikiranku berkecamuk didalam sana. Bingung apakah ini pilihan yang benar untuk kami. Aku dan Katya.

"Dimakan, Om." papar Katya lagi. Aku mengerjap, lalu tersenyum tipis.

Om. Memang setua itu ya, wajahku? Yah, biarkanlah Katya tetap memanggilku om. Setidaknya, sampai beberapa hari kedepan.

-

"Kalau besok-besok saya sering ajak kamu makan siang diluar, kamu keberatan?"

Katya menoleh, menatapku yang sedang fokus dengan jalanan dihadapanku. "Nggak sama sekali lah, Om. Lagian lumayan, saya jadi ada temen ngobrol."

Aku tersenyum tipis. Hatiku menghangat, seperti ada kenyamanan yang menyelusup kedalam. Aku menoleh balik menatapnya sebentar. Katya nyengir dengan cengiran andalannya yang mulai menjadi candu bagiku.

"Tapi, lain kali ajak-ajak Jeje dong, Om. Pasti lebih seru. Dia anak yang pintar." Katya membenarkan anak rambutnya. "Saya aja sampai berandai-andai, kalau aja saya punya anak selucu dan sepintar Jeje, pasti saya bakalan bahagia banget. Saya pengen, lho, punya anak kayak Jeje."

Bibirku berkedut menahan senyum, tanganku mengerat menyengkeram setir. Ini semacam lampu hijau, kan?

"Memangnya Om nggak berniat cari figur ibu buat Jeje?"

Pertanyaan Katya sukses membuatku mendadak menginjak pedal rem. Untung jalanan kali ini sedang sepi.

"Astaga, Om!" Katya mengelus dadanya kaget.

"Kata siapa saya nggak berniat? Saya berniat, kok." aku menatap Katya intens. "Saya memang sedang berusaha mendapatkan hati seseorang yang nantinya akan menjadi istri saya serta ibu bagi Jeje dan anak-anak saya nantinya."

Katya tergagap. Ia agaknya sedikit gugup kala mengetahuiku sedang menatapnya intens. "W-wah, bagus dong, Om."

"Seseorang itu adalah perempuan yang baru saja berkata bahwa dia berandai-andai mempunyai anak seperti Jeje."

-

segini dulu yeee hahaha doain semoga idenya selalu ngalir lancar di otakkuuu😝

The Distance Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang