"Ternyata kamu benar benar sudah melupakanku. Lalu, bagaimana dengan luka hatiku? Yang kembali basah hanya dengan mendengar namamu"
*****
"Illa?" Panggilan itu, yang bertahun tahun tak ia dengar.
Apakah benar? Dia.
Spontan saja Lara mengangkat kepalanya, mencari sang pemilik suara.
Deg. Bukan. Tapi bagaimana laki laki itu tau? Siapa dia? Lara kira benar dia orangnya, tapi nyatanya imajinasinya terlalu tinggi. Bagaimana orang lain tau panggilan itu? Sedangkan keluarganya pun tak tau. Hanya dia yang memanggil Lara dengan nama itu. Apa dia pernah bercerita tentang Lara pada orang lain? Sederet pertanyaan menghiasi kepalanya.
"Illa? Hallo?" Sapanya lagi membuat buyar lamunan Lara.
"Ah-eh..ya?" Jawabnya tergagap.
"Kok malah bengong? Inget gue kan?"
"Emm.. Maaf siapa ya? Aku lupa." Ucapnya ragu. Awalnya bengong, sekarang lupa. Sungguh pertemuan yang buruk.
"Astaga! Penyakit lupa lo belom ilang juga? Coba deh inget inget dulu."
"Hehe.. Bentar deh, aku inget inget dulu." Kata Lara sembari memperhatikan dengan seksama laki laki yang sudah duduk di hadapannya itu. Kemudian..
"Aaa.. aku inget, kak Abyan? Astaga beneran kakak? Yaampun udah lama gak ketemu. Gimana kabar kakak?" Ucapnya antusias ketika telah berhasil mengembalikan ingatannya.
"Giliran udah inget toanya muncul."
"Hehe.. Udah bawaan dari lahir kak, mau gimana lagi." Jawabnya sembari tertawa
"Lo gak berubah ya? Masih pikun, cerewet, toa dan kalo diliat pas lagi diem, keliatan gak ada ramah ramahnya, horor tau gak?"
"Ya iyalah kak. Aku bukan power ranger yang bisa berubah ubah. Dan juga, aku bukan hantu jadi ya enggak horor lah. Gini ya, kalaupun hantu, pasti akan jadi hantu cantik yang banyak fansnya gitu, bukan hantu horor." Celoteh Lara dengan percaya diri.
"Astaga Illa, iyadeh senengnya lo aja gimana. Gaudah aku-kamu gitu, sante aja lah."
"Hehe.. iyadeh iya."
"Gimana kabar lo?"
"Udah ngobrol dari sabang sampe merauke, udah ngitung panjang kali lebar kali tinggi juga baru nanyain kabar? Gak sistematis banget sih." Sewot Lara, Abyan terkekeh geli mendengar omellan Lara barusan.
"Kabar aku-eh gue ya seperti yang kakak lihat. Kakak sendiri gimana?"
"Baik. Itu?? Lo masih suka nulis?" Tanya Abyan sembari menunjuk kertas penuh coretan tinta hitam yang masih di atas meja. Anggukan kepala Lara tercipta untuk menjawab pertanyaan Abyan barusan.
"Kabar dia baik." Ucap Abyan tiba tiba, dengan suara lirih, tapi telinga Lara masih mampu menangkapnya dengan jelas. Lara tertunduk, mengerti siapa yang sedang dibicarakan.
Diam. Lara belum bersuara. Lara tau keadaan dia baik, bahkan lebih dari baik baik saja.
"Lo, masih sayang sama dia?" Lagi lagi Abyan buka suara, dengan pertanyaan yang sontak membuatnya mendongak, menatap sang pemilik suara.
"Gausah dijawab, mata lo udah jawab La. Sory gue ngungkit."
"Gapapa kak, sante aja." Jawabnya dengan seulas senyum yang ia paksakan. Padahal luka hatinya kembali basah sekarang.
"Lupain dia. Lo pantes bahagia sekarang. Hapus perasaan lo itu, gaada gunanya lo sayang sama dia."
Kata kata Abyan bagaikan anak panah yang tepat mengenai sasaran, dan sasaran itu adalah hatinya. Sesak di dadanya kembali bertamu, kali ini lebih terasa sakit. Kalimat terakhir bagaikan tamparan keras untuk menyadarkan Lara akan kenyataan yang ada. Tak ada jawaban yang tepat untuk kata kata Abyan, apa yang dikatakannya memang benar.
"Kenapa diem? Kata kata gue bener kan?"
"Iya. Gue tahu perasaan gue udah gak berguna lagi. Gue juga udah usaha ngapus nama dia dari hati gue. Tapi gak semudah saat dia bikin gue jatuh hati dulu. Bahkan gue tau dia udah bahagia sama yang lain, gue tau kak." Kata Lara sendu.
"Lo-lo.. tau? Lo tau orangnya?" Tanya Abyan ragu, ia tak menyangka Illa mengetahuinya.
"Iya, kak Riana kan? Abriana Pratista. Temen seangkatan kalian dulu? Gue tau semuanya kak." Jawabnya lirih "Kak, gue gak buta media sosial ya, di bio dia jelas jelas terpampang namanya. Foto kebersamaan mereka pun banyak banget. Mereka kelihatan bahagia ya? Pasangan serasi." Sambung Lara dengan tawa hambar.
"Tapi tenang, gue gak akan ganggu mereka. Gue juga gak iri karena mugkin gue dulu gak kayak gitu. Biarin gue nanggung perasaan ini sendiri. Gapapa dia sama siapa aja, itu hak diadan gue gapunya hak buat ngelarang. Masalah hati dan perasaan gue, itu murni urusan gue."
"Dengerin, Lo udah bisa ngomong gini, sekarang tugas lo lupain dia. Lo baik, La. Lo pantes bahagia, bahagia lo bukan cuma dia. Buka hati lo, jangan takut buat ngebuka hati. Di luar sana banyak yang lebih baik dari dia. Ngerti?"
"Ngerti, kak. Makasih ya, gue jadi curhat gini."
"It's okay."
"Tapi, kenapa kakak panggil aku Illa?"
"Dulu, dia sering cerita tentang lo ke gue. Gimana sayangnya dia sama elo. Bahagianya dia bisa dapetin elo. Gue tau panggilan itu dari dia. Sory kalo bikin lo inget dia. Gue bakal ganti nama panggilan lo deh."
"Okedeh."
Drett.. Dreet..
"Bentar gue angkat dulu." Dan hanya dijawab anggukan oleh Lara.
"Udah selesai? Oke aku jemput sekarang, byee." Ucap Abyan dengan seseorang di seberang sana.
"Lara, sory gue duluan, udah ditunggu." Katanya sambil memasukkan ponsel ke dalam tasnya. "Oh ya, gue yang traktir"
"Rezeki anak sholehah emang ya, thanks kak. Thanks buat pencerahan sama traktirannya." Kata Lara diselingi tawa.
"Haha.. sipdeh. Duluan, see you, Lara."
"See you, hati hati kak." Ucap Lara dengan melambaikan tangan. Acungan jempol mewakili jawaban Abyan untuk Lara.
Selepas kepergian Abyan, Lara kembali menjadi batu. Diam dan kembali berfikir. Senyum yang sedari tadi ia tampilkan di wajah cantiknya hilang begitu saja. Kata kata Abyan membekas di hatinya. Tiba tiba..
"Astaga aku belum ngabarin bunda." Ucapnya menepuk jidat.
Ia melirik ponselnya, sudah jam 16.22 WIB. Ia segera beranjak dari tempatnya dan bergegas pulang. Pasti bundanya akan semakin ngomel jika ia tak segera pulang.
-----------
Aku balik lagi guys. Ada yang nungguin Lara gak nih? Udah kejawab kan siapa yang manggil Lara :) ternyata bukan si dia ya wkwk ;) Maaf kalo ada typo typo bertebaran :' Menerima kritik dan saran kalian :)) Jangan lupa vote dan komen ya readers ;) Thank you :)
Fyi. Abyan itu temen sekelas si dia waktu SMP. Jadi sama aja kakak kelasnya Lara waktu SMP.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lara
Fiksyen RemajaMasalalu yang masih menghantui, yang membuatnya trauma untuk tersakiti lagi, dengan alasan yang sama. Tunggu saja apakah waktu mengizinkannya membuka hati kembali atau tidak.