Chapter 44 - Should We Jump?

5.4K 374 33
                                    

Tristan

"Lepaskan aku."

"Hentikan."

"Kumohon hentikan."

Beberapa kalimat yang aku dengar dari luar ruangan. Fix. Itu suaranya. Suara dari gadis yang seharusnya aku temui satu jam lagi, di Cafe Luitpold, bukan di gedung creepy ini.

Sontak aku menghentikan lariku, hingga genggaman tangannya hampir terlepas dari tanganku.

"Apa yang terjadi?" tanyanya sedikit bingung.

"Freya," ucapku cepat, "berlarilah dan temui temanmu."

"Apa maksudmu, Cyclops? Aku tidak akan meninggalkanmu."

Oh, God, aku tidak ada waktu lagi untuk berdebat dengannya. Jika memang makhluk cantik itu yang sedang kesakitan yang ada dalam ruangan di depanku sekarang, aku tidak akan memaafkan diriku jika terlambat menolongnya.  

"Tunggu di sini. Tembak siapapun yang keluar dari ruangan ini selain aku."

Dia mengangguk dengan cepat, seperti mengerti apa yang akan aku lakukan. Dalam hitungan detik aku sudah membuka kenop pintu di depanku. Belum ada siapapun yang aku lihat. Ruangan ini berbentuk 'letter L' dan aku yakin mereka berada di bagian ujung, setelah belokan. Aku terus berjalan, sedikit mengendap.

"Beautiful scientist," suara dalam itu mulai kudengar.

Scientist?

Dengan cepet otakku berpikir. Chloe, gadis itu pasti Chloe, aku semakin yakin. Langkahku semakin cepat, namun aku sedikit menahan derap langkahku, tidak ingin para mafia brengs*k itu mengetahui kedatanganku.

"Kita bermain sekarang."

Dalam detik yang sama, jeritan itu mulai terdengar. Bukan jalan cepat, kini aku berlari dengan cepat.

DOR DOR DOR

Tanpa berpikir panjang lagi. Tiga peluruku menembus tiga kepala mafia yang....oh God, aku tidak dapat mengatakan apa yang dilakukan tiga mafia brengsek itu padanya. Aku masih berlari ke arahnya dan dalam saat yang sama aku membuka black long coat yang aku pakai.

Rapuh, menyedihkan, itu yang terlihat darinya sekarang. Mata indahnya tidak lagi jernih namun memerah dan pipinya begitu basah dengan air mata yang masih mengalir walau aku tidak mendengar isak tangisnya. Aku yakin dia tidak dapat menahan rasa sakit di tubuhnya.

Jika saja aku mengetahui keberadaannya sebelumnya, mungkin hal mengerikan baginya ini tidak akan terjadi. Ya, hanya bra dan panty yang melekat di tubuh indahnya saat ini. Mungkin tiga mafia brengsek yang sudah tidak bernyawa lagi itu sudah memperkosanya jika aku datang terlambat walau hanya beberapa detik.

F*CK.

Berkali-kali aku mengumpat keras dalam batinku. melihat keadaannya yang begitu menyedihkan seperti sekarang ini, membuat dadaku sesak.

Belum ada kalimat yang keluar dari mulutku. Tanganku dengan cepat melepaskan ikatan tangannya pada logam melingkar yang berada jauh di atas kepalanya hingga dia berjinjit tidak menapak sempurna. Reflek aku mendekapnya dengan kuat saat tali itu berhasil aku lepaskan.

DOR DOR

Dua peluruku berhasil membuka borgol di tangan dan kakinya. Kupakaikan black long coat-ku di badannya. Sekali, dua kali, aku megusap lembut air matanya. Kini isak tangisnya mulai terdengar.

"It's okay. Kamu aman sekarang," ucapku pelan dengan tanganku yang mendekapnya erat dan juga mengelus kepalanya. Mencoba membuatnya tenang, karena aku yakin dia masih syok dengan kejadian yang dia alami ini. Kejadian yang sudah pasti pertama kali dalam hidupnya.

The Enemy in My Bed - #hackerseries 2.0 [✅] 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang