Ada dua hal di dunia ini yang begitu Rana perjuangkan. Pertama adalah uang. Yang kedua adalah Abyan. Bagi Rana, seluruh mimpi, kebahagiaan, juga bayang-bayang masa depan yang sudah dia susun rapi-rapi telah mati pada detik pertama peti kedua orang tuanya ditimbun oleh tanah. Waktu itu ia yang masih berusia enam belas tahun, diantara kebingungan harus mencerna semua yang terjadi. Ketika harus menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kematian kedua orang tuanya yang begitu tragis. Ketika ia harus menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, jasad ayah juga ibu yang perlahan-lahan ditelan oleh bumi, ditemani oleh langit yang terus-terusan meneriakkan tangis, seakan menggantikan Rana yang saat itu berdiri mematung tanpa ekspresi.
Suasana berkabung tidak pernah melepaskan diri dari tempat pemakaman. Satu per satu kerumunan manusia dalam balutan pakaian serba hitam mulai berlalu pergi, meninggalkan beberapa saja, termasuk Rana. Tatapannya dilabuhkan menuju pusara yang masih baru. Pada nisan yang mengukir nama kedua orang tuanya. Rana tidak menangis seperti kebanyakan orang di sana, ia berdiri, memandang kosong pada tanah merah yang masih basah. Sampai sebuah tangan mungil menggenggam kelima jemari Rana yang dingin, menariknya pada tingkat kesadaran yang begitu menyakitkan. Rana menoleh pada Abyan yang waktu itu baru berumur delapan tahun, menatap ke sekelilingnya dengan pandangan bingung.
"Kak, kok kita di sini? Mama sama papa mana?"
Menyadari itu, Rana yang tadinya masih membisu, masih berdiri dengan tegak, masih bisa bernapas dengan teratur, perlahan-lahan mulai runtuh. Tanpa sempat memejamkan kedua mata, air matanya jatuh satu persatu. Mengalir dengan cepat sampai wajahnya basah dalam sekejap.
"Kok kakak nangis? Semua orang juga nangis, Abi takut kak..." Melihat Rana menangis, kedua mata Abyan mulai berkaca-kaca, suaranya mulai bergetar dan genggaman tangannya semakin dieratkan. "Kakak jangan nangis... Ayo kita pulang, Abi gak mau disini. Abi mau ketemu mama sama papa, kak."
Bukannya berhenti, tangis Rana justru semakin menjadi-jadi. Diantara kedinginan, kegelapan, juga kesakitan yang terus membelenggunya, Rana seolah-olah tertampar dengan satu kenyataan. Kenyataan yang membuatnya tersadar, kalau ia masih memiliki harapan. Ia masih punya keluarga yang mencintainya. Ia masih punya Abyan.
Sejak saat itu, Rana bertekad kalau di seluruh hidup yang ia jalani, akan ia perjuangkan hanya untuk Abyan, satu-satunya anggota keluarga yang ia miliki. Apapun akan Rana lakukan, agar ia dan adiknya bisa hidup dengan layak. Termasuk meninggalkan pendidikan dan mencari uang dengan bekerja banting tulang. Entah itu menjadi kasir di sebuah supermarket, pelayan cafe, juga pengantar makanan restoran, semua hanya demi uang.
Sepenting itu makna sebuah pekerjaan bagi Rana. Maka, jika dirinya harus kehilangan pekerjaan hanya karena seorang laki-laki sombong dan juga brengsek seperti Nevan yang tidak mau mengganti rugi, apalagi meminta maaf karena sudah membuat makanan yang harus ia antar hancur berantakan. Tentu saja Rana tidak akan pernah bisa terima.
"Kamu saya pecat!"
Kepala Rana yang tadinya tengah tertunduk dalam-dalam otomatis mendongak, menatap pak Bayu dengan mata melotot kaget. "Tapi pak --"
"Tidak ada tapi-tapian, Kirana!" Bayu berdiri dari duduk dan menggebrak meja hingga membuat Rana berjengit kaget. "Gara-gara kamu saya kehilangan langganan dan juga rugi besar!"
"Tunggu dulu pak," sergah Rana cepat. "Ini semua juga bukan sepenuhnya salah saya. Kalau saya nggak ditabrak sama laki-laki brengsek itu, semuanya tidak akan jadi seperti ini."
"Kamu pikir saya peduli?! Kalau kamu tidak datang terlambat, semuanya juga tidak akan berakhir seperti ini!"
Mendengar hal tersebut membuat kepala Rana kembali tertunduk patuh. Benar juga apa yang orang tua itu katakan, semua berawal dari keterlambatannya. Ya Tuhan, Rasanya Rana ingin membenturkan kepala ke tembok. "Maafkan saya, pak. Saya janji hal seperti ini tidak akan terulang lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Trouvaille
Teen FictionSemenjak kehilangan kedua orang tua, Abriella Kirana tidak pernah lagi memandang kehidupan dengan cara yang sama. Baginya, hidup adalah abu-abu yang bergumam sendu. Ia lupa caranya bahagia, lupa bagaimana cara mengeja tawa, lupa bagaimana cara berha...