Trouvaille | 8

423 51 8
                                    

Kekesalan Rana seolah bertambah dua kali lipat ketika dilihatnya Daniel Zachary tengah bersandar tepat di depan pagar rumahnya. Laki-laki itu mengenakan kaos putih polos dengan jaket kulit hitam sebagai luarannya. Sepertinya Rana pernah melihat Daniel mengenakan jaket kulit itu sebelumnya, karena rasanya tidak asing. Tapi dimana?

Ah, pasti di hari ketika ia mabuk kemarin.

"Good morning, beautiful."

Perempuan itu bersedekap dan berjalan dengan langkah lebar saat Daniel melambaikan tangan ke udara dengan senyum jenaka yang selalu laki-laki itu berikan untuknya.

"Mau ngapain lagi sih lo ke sini?"

Daniel mengerjap sok polos. "Loh? Kok ngambek?"

"Gue nggak ngambek."

"Terus kenapa muka lo asem gitu kayak susu basi? Gimana tadi? Sukses?"

Rana mendengus hebat, ia mengacungkan jari telunjuk ke arah wajahnya yang kini menatap tanpa ekspresi. "Kira-kira kalau dilihat dari raut wajah gue sekarang, apa semuanya berjalan mulus sesuai dengan yang lo pikirkan?"

"Hmm. Nggak." Daniel menyengir tak berdosa, semakin menambah kekesalan Rana.

"Sialan, lo nggak pernah bilang ke gue kalau orang yang lo maksud kemarin adalah kakak lo yang ekspresinya lebih datar dari jalanan aspal, tapi sedetik kemudian bisa lebih sangar dari bulldog yang nggak dikasih makan selama setahun!"

Bukannya terkejut dengan nada bicara Rana yang naik dua oktaf, Daniel justru tertawa hingga bahu bidangnya berguncang. "Mati dong kalau nggak dikasih makan setahun?"

Rana melotot tidak percaya. Jelas ia merasa dongkol. "Ini sama sekali nggak lucu loh?! Gue lagi nggak ngelawak Daniel Zachary!"

"Oke, oke." Laki-laki itu mengangkat kedua tangan ke udara, memberi simbol menyerah. "Sorry for not telling you, karena gue yakin kalau gue ngasih tahu lo kemarin, lo bakal langsung nolak pekerjaan itu."

"Iya lo benar, dan sekarang berhubung gue udah tahu, gue mau nolak pekerjaan itu mentah-mentah! Gue nggak mau kerja sama orang macam kakak lo! Bisa mati muda gue gara-gara makan hati melulu!"

Daniel mengernyit, lalu membungkukkan tubuh hingga wajahnya berada di depan wajah Rana yang langsung waspada karena jarak mereka yang begitu dekat, ia mencolek dagu perempuan itu dengan jahil sebelum berkata, "Sensi banget sih? Nanti cantiknya ilang loh."

"Gue nggak ada waktu untuk mendengarkan rayuan lo yang nggak bermutu itu."

"Gue lagi nggak ngerayu."

"Oh. Terus kalo gak ngerayu namanya apa? Ngegombal dengan kata-kata sok manis?"

"Oh cmon, Kirana. Jangan ngambek begitu. Gue nggak berniat buat bohongin lo sepenuhnya kok."

"Bullshit."

"Gue serius. Buktinya gue udah bela-belain nongkrong di depan pagar rumah lo pagi-pagi begini cuma untuk ngasih tahu soal itu."

"Nggak usah banyak alasan."

"Oke. My bad. Salah gue. Kaum hawa memang selalu benar."

"Lo tuh kapan bisa diajak ngomong serius sih?"

"Sekarang gue serius," Daniel berdeham. "Gue butuh bantuan lo, Kirana. Lo mau bantuin gue kan?"

"Bantuan?" Rana menyipitkan kedua mata. "Bantuan apa maksud lo?"

"Bantuan untuk menjinakkan bulldog yang galaknya kayak belum dikasih makan setahun." Daniel menyengir kuda.

"Hah?" Rana melongo. Apa laki-laki ini sudah tidak waras?

TrouvailleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang