3

26 7 0
                                    

[Aris]

          Kelas yang membosankan, sekolah yang membosankan, hidup yang membosankan. Aku hanya melihat anak-anak kelas lain sedang berolahraga dilapangan lewat jendela kelas samping mejaku. "baiklah anak-anak, bapak akan membagikan nilai ulangan kalian minggu lalu. Aris, maju. Ada yang ingin bapak tanyakan".

Aku berdiri dan berjalan gontai kedepan. Paling dimarahi lagi sama bapak rambut kriting itu. "bapak heran sama kamu, kerjaanmu hanya melamun dan tidur dikelas. Bahkan kau selalu ngelindur saat mengerjakan pr. Tapi bagaimana bisa kau selalu mendapatkan nilai yang bagus saat ulangan?".
Ya, itu lah pertanyaan yang paling kubenci. Dan akhirnya pertanyaan itu datang kepadaku. Sial...

   Jujur, bahkan soal khusus untuk ilmuan ternama pun bisa kujawab. Hanya saja aku terlalu malas untuk mengerjakan soal-soal sma ini. Terlalu mudah.

   "mungkin saya hanya beruntung pak. Kalau bapa masih tidak percaya kalau saya tidak menyontek, pak guru bisa memberiku ulangan lagi", ucapku santai.
Bapak  hanya terdiam. Ku rasa bapak itu tak bisa berkata apa-apa lagi. Padahal aku belum mengatakan kata-kata yang logis yang dapat membuat bapak itu lebih syok lagi. Tapi itu hal yang bagus.
"baiklah, jika bapak berkenan, saya ingin kembali duduk dan mengerjakan hal-hal yang biasa saya lakukan". Lanjutku lalu berjalan kembali kemejaku.tanpa basa-basi, guru fisika itu pun kembali mengajar sampai bel pulang berbunyi.

    "hey, junior, Urusan kita belum selesai." kakak ketua osis itu melototiku dengan tatapan yang tajam dan sinis. Aku tidak peduli, memangnya dia siapa? Toh bukan orang tuaku. Aku kembali berjalan kedepan gerbang tanpa melihat kakak itu. "hey kembali! Aku bilang kembali Aris!" aku berlari ke luar gerbang dan langsung naik bis yang sedang berhenti. Kakak osis itu berusaha mengerjarku, tapi terlambat. Bis itu langsung menutup pintunya dan mulai pergi meninggalkan sekolah. Aku menghela nafas panjang dan melihat pemandangan lewat kaca bis. "andai saja dia mau mengadopsiku" gumamku dalam hati.

   Sesampainya dirumah, aku tidak melihat siapapun dirumah. Ya, tidak seorangpun. Bahkan jika ada ibu dirumah, aku tidak akan menganggapnya ada, dan ibuku paling hanya menganggapku angin lewat. Tak ada sapaan darinya, tak ada pelukan, bahkan menoleh kepalanya untuk melihatku saja tidak. Dia terlalu asik mengelus-elus kepala adik bungsuku yang masih berumur 6 tahun. Aku tidak peduli. Aku tidak peduli. Aku. Tidak. Peduli.

   Aku naik kelantai atas dan masuk kamarku. Melempar tasku keatas meja, membuka baju dan memakai handuk lalu masuk kekamar mandi. Aku menghidupkan showernya dan duduk dilantai sambil disirami dinginnya air. Tak sadar air mataku langsung jatuh kepipiku dan langsung kuusap. "Laki-laki macam apa aku ini...? " tegasku. Aku menahan isakan tangis dan menutup mataku. Sebenci apakah dia sampai-sampai tidak mau menganggapku ada? Sebenci apa dia kepadaku sampai dia mau menyayangi adikku berlebih-lebihan? Sebenci apa ibuku kepadaku sampai dia. Mau. Membunuh. Orang. Tersayangku?.

     Aku membuka mataku. Tubuhku menggigil akibat air yang terlalu dingin. Aku berdiri dan memakai handukku lalu keluar kamar mandi, memakai baju, menusuk tanganku dengan gunting. Entahlah, gunting memang mainan kesukaanku sejak ayah meninggal. Aku suka menggores-gores tanganku menggunakan gunting. bahkan jika libur panjang, aku mau menyayat leherku menggunakan gunting kesayanganku. Karena mereka tidak akan melihat sayatan dileherku disekolah. Aku hanya mengunci diriku dikamar, hanya keluar mengambil makan dan segelas air dan kembali masuk ke kamarku untuk makan.

  Setidaknya dia tidak akan melihatku menderita seperti ini.

Parallel WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang