4

21 6 0
                                    

[Claire]

    "HENDRIK!" aku berteriak histeris saat melihat wanita itu mengarahkan senjata apinya kearah hendrik. Siapa dia? Wanita itu memakai sarung tangan hitam, rambut panjang berwarna cokelat yang terurai berantakan begitu saja, Tubuhnya yang ramping, dan wajahnya yang tertutup masker oksigen.

    "hey, turunkan senjatamu!", perintah dari tentara seram. Ya, dia yang aku lempari kerikil sebelumnya. Wanita itu tidak mengarahkan senjatanya ke tentara itu, jadi kurasa dia lebih bebas untuk berbicara dan bergerak....?
"mana tahanan lainnya? " tanya wanita itu serius dan tidak menjawab pertanyaan tentara seram itu. "berani-beraninya kau mengabaikan pertanyaanku begitu saja. Aku ini tentara dengan jabatan tertinggi ke-2 di kedua negara ini! Kau seharusnya takut dan patuh kepadaku cewek jalang!" amuknya. Wajahnya merah padam, masih menahan bomnya untuk meledak.

    Aku gemetaran, rasanya ingin lari dari situasi genting seperti ini. Tapi, tangan dan kakiku masih terikat dikursi. Bahkan Hendrik membeku, tak bisa bergerak karena bisa saja peluru itu melesat kearahnya jika salah gerak atau bicara meski satu patahkata sekalipun. "oh" jawab wanita itu singkat dan langsung mengubah target dari Hendrik kearah tentara itu. "Terimakasih telah memberi tahuku identitas aslimu kakek tua keriput". Seketika tubuh tentara seram itu gemetaran dan ketakutan. Kasihan... Katanya tentara dengan jabatan tinggi. Tapi nyalinya kemana?

      Suara tembakan diluar berhenti. Kemana suara itu pergi??? Tanyaku dalam hati. Seorang pria dengan badan yang kekar masuk keruangan ini. Ya ampun... Siapa lagi dia?? Sudah cukup berhadapan dengan tiga orang yang menyebalkan ini...

         "kau... " ucap pria itu kearah Hendrik "lepaskan gadis ini dan pergi. Kalau ada sandera yang lain, bebaskan",Lanjut pria itu. Hendrik hanya mengangguk samar. "kak! Dia tentara Israel! Kakak sudah ga waras ya??? Masa tentara pantat panci kayak dia bisa dipercaya?! " ketus wanita itu. Pantat panci???  Sejak kapan Hendrik dibilang pantat panci?? Toh tidak ada yang salah dengan wajahnya. Hanya kulitnya yang agak kecokelatan. Tapi tak ada masalah dengan itu kan???
Tapi... Perempuan itu baru saja memanggil pria itu dengan sebutan "kak". Apakah pria itu saudaranya???. "tidak apa-apa, dia tidak akan tega mengkhianati keadilan. Iya kan, Hendrik?"

        hendrik????? Bagaimana pria ini bisa tau namanya? Apa mereka berdua saling kenal? Atau pernah bertemu sebelumnya? Ini semakin membingungkan. Entah kenapa aku harus terlibat dalam masalah yang mendalam seperti ini.

     Hendrik menundukkan kepalanya. Tidak berani untuk melihat kedua tentara yang ingin meledakkan amarah mereka kepadanya. Pria itu memegang kedua pundaknya. "Tugasmu disini selesai. Sekarang aku menugaskanmu untuk menyelamatkan gadis ini, bawa dia sejauh mungkin. Dan bebaskan yang lain jika ada".
"Baik, Sir"
"Ya ampun, pantas saja mukanya mirip pantat panci, ternyata emang sipantat panci. Yoh, lama ga jumpa paci!" potong wanita itu. "yoh... ",balas Hendrik singkat lalu menghampiriku dan melepaskanku dari ikatan tali yang amat menyiksaku saat bergerak. Hendrik menarikku keluar dari ruangan itu.
"bye, Pantat Panci~~"
"berhenti memanggilku dengan panggilan itu"
"tapikan wajah cokelatmu itu mirip pantat panci"
"hentikan, "
"hahahahhaa harus seserius itu kah? "
"Terimakasih kak! Suatu saat nanti aku akan membalas budi perbuatan kalian!"

     
     Eh?! Kenapa aku ikut campur urusan mereka? Aku hanya tahanan. Aku bukan salah satu dari teman mereka. Mereka menatapku dan tertawa sejenak lalu fokus ke dua tentara tadi. Dan itu hal yang terakhir aku lihat dan dengar sebelum Hendrik membawaku pergi jauh dari tempat itu.

   

     Sudah setengah jam kami berjalan. Aku lelah. Disini gelap, hanya diterangi oleh cahaya senter milik Hendrik. Aku takut... Tapi, rasa takut ini tidak bisa mengalahkan rasa takutku saat menghadapinya dirumah. Kami berhenti diatas bukit dengan satu pohon besar yang rindang berdiri tepat ditengah bukit itu. "kenapa kita kesini..??" tanyaku penuh gelisah. "Aku tidak mau kita dikejar oleh tentara Israel yang lain. Kau juga kelelahan jadi kita istirahat disini saja, lebih aman",Jawabnya.

       Kami berdua duduk tepat dibawah pohon besar dan rindang itu. Aku juga mendengar suara dari perut Hendrik yang kelaparan. Aku ingin memberinya makanan, tapi apa?. Aku baru ingat, Sandwich yang diberikan ibuku sebelum aku pergi kesini. Aku mengambil kotak bekal didalam tas ranselku dan membuka tutupnya. Dua potong Sandwich. Cukup untukku dan Hendrik.

"kak Hendrik... Ini" aku memberikan satu potong Sandwichku kepadanya.
"e-eh? Tidak usah aku tidak lapar"
"aku mendengar suara perutmu yang kelaparan"
"tidak apa-apa makan saja"
"aku sudah kenyang kalau makan satu potong. Kalau disimpan juga besoknya basi"
"tidak apa-apa"
"ayolah kak... Aku tidak mau kau mati kelaparan"
"kenapa kau memanggilku kakak? Apa aku setua itu?"

      Pipiku memerah. Aku juga baru sadar aku telah memanggilnya dengan sebutan kakak. "karena... Kakak lebih tua dariku?" ucapku gugup. Dia pun tertawa dan ternyata benar, umurnya 1 tahun lebih tua dariku. Hendrik 16 tahun, dan aku 15 tahun. Jadi tak ada salahnya aku memanggilnya kakak kan?. "terimakasih" katanya singkat dan mengambil potongan sandwichku lalu memakannya. "omong-omong... Aku belum tahu namamu, mungil" ucapnya. Aku tersentak kaget karena lupa memberitahu namaku kepadanya. "oh iya! M-maaf kak... Namaku... Claire", jawabku. Dia tersenyum lalu melanjutkan makan malamnya itu. Aku menguap akibat rasa kantukku yang menyerang dan dinginnya udara malam disini. "kau mengantuk mungil? Mau tidur?" tanyanya. Aku mengangguk spontan dan menguap lagi. Kak Hendrik mengambil tasku dan  menjadikannya sebuah bantal. Meski tidak empuk, setidaknya kepalaku tidak akan pusing saat tidur. Aku membaringkan kepala keatas tas ranselku dan tertidur begitu saja. Belum hilang semua kesadaranku, Kak Hendrik mendekatkan wajahnya ketelingaku dan berkata.                  

  "selamat malam, adik kecil".

Parallel WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang