CHAPTER 16

43 32 1
                                    

Petir menggelegar, saling bertaut-tautan. Angin kencang membawa rintik hujan, berubah menjadi deras. Terpaan air hujan membuat beberapa orang yang ingin masuk ke dalam lobi apartemen berusaha menghindarinya, termasuk salah satunya adalah Rey. Usai melewati metal detektor, dia hampiri seorang sekuriti perempuan yang berjaga di dekat pintu lobi.

"Permisi! Apa tahu dimana rumah makan sunda disekitar sini?" sapa Rey dengan sopan.

"Rumah makan sunda? Setahu saya tidak ada di komplek apartemen ini, Pak. Barangkali bapak salah masuk apartemen. Disini itu ada apartemen Mutiara Citra dan Mutiara Garden. Bentuknya memang sama persis. Di sebelah itu Mutiara Garden, kalau yang disini, Mutiara Citra, Pak!"

"Betul kok, Bu! Aduh maaf, maksud saya itu.. Ruko adanya di sebelah mana?"

"Bapak cari ruko? Kalau ruko itu adanya di belakang gedung ini. Sini saya kasih tau..," lewat jemari tangannya dia beri isyarat, "Bapak keluar dulu. Terus ambil ke arah kanan, dan disana ada trotoar. Ikuti saja terus! Pokoknya ruko itu adanya di belakang yah, Pak!" Rey mengangguk, membawa langkahnya menuju pintu keluar lobi.

Hujan lebat masih tetap tak berhenti. Sesampainya di trotar, Rey susuri jalanan yang berbahan dasar bata blok itu dengan penuh kewaspadaan. Pemandangan saat itu lengang. Pohon palem berbaris lurus dengan rapih. Baru beberapa meter berjalan, dia temukan gedung apartemen Mutiara Garden yang memang mirip, baik bentuk unit maupun warnanya. Darisana Rey terpanah dengan sebuah kamera CCTV yang terpasang di tiap sudut balkon.

"Ada kamera? Berarti..," refleks Rey keluar jalur trotoar, mendongak, menatap tiap unit searah turunnya hujan, "Loh! Kenapa yang disini gak di pasang juga? Febri harus tahu ini!" tandasnya penuh antusias.

Tanpa berhenti terlalu lama, Rey kembali melangkah sesuai tujuan semula. Bajunya basah kuyup tertimpa derasnya hujan. Tak lama kemudian, dari arah berlawanan seorang karyawan apartemen dalam keadaan setengah berlari, berpapasan dengannya. Sepasang tangan menggenggam sapu serta tempat sampah yang berukuran tak terlalu besar.

"Permisi! Tahu dimana ruko ibu Nurhayati? Rumah makan masakan sunda?"

"Siape Nurhayati? Oo.. Si Mbak Nur? Itu mah kagak jauh lagi. Noh di depan sono! Ruko nomor empat ye! Tapi kayaknye, orangnye udah pindah tuh. Coba aje kesana!" jawabnya ceplas-ceplos dengan kental logat Betawi.

"Pindah? Saya coba cek dulu deh. Terimakasih yah, Mas!" balas Rey, sambil terus tetap berjalan.

Tak jauh dari tempat bertanya, barisan ruko sudah berdiri kokoh dihadapannya. Rey mulai berhitung, sesuai nomor yang diberikan. Sebelum sampai pada nomor itu, nampak keberadaan tiga orang lelaki berotot, sibuk memindahkan sejumlah barang dari dalam ruko masuk ke dalam sebuah mini truk. Gerakannya gesit dan lincah.

"Pak, tahu di mana ruko ibu Nurhayati? Bisa saya bertemu dengannya?"

"Ini rukonya, Pak! Orangnya sudah pindah. Kira-kira seminggu yang lalu!" sambar seorang diantara mereka.

"Pindah kemana, Pak? Apa semua barang-barang ini punya ibu Nurhayati?"

"Iya, Pak! Ini nanti semua kita bawa ke Sumedang."

"Boleh saya minta nomornya, Pak?"

"Memang bapak siapa-nya ibu Nur?" Rey terdiam sejenak, berpikir mencari jawaban yang terasa pas, "Saya yang ingin menyewa ruko itu, Pak."

"Sebentar!" lelaki itu mengambil handphone dari balik kantong celana jeans yang sudah kusam, lekas mencari nomor yang diminta, "Nah, ini nomornya! Kemarin kata Mba Nur, hari ini dia mau datang pamitan sama orang-orang disini. Tapi gak tahu saya jam berapa. Telepon dulu aja, Pak! Atau kalau mau lebih lengkap, bisa tanya sama sekuriti di dalam sana," Rey melirik singkat, membaca nomor sambil menyimpannya.

Rahasia Terdalam (Publish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang