CHAPTER 21

20 23 0
                                    


            Beberapa hari terlewati dalam menanti keputusan maupun hasil revisi yang semestinya Pak Ben kirimkan padaku. Tetapi nyatanya hingga detik ini, tak ada email atau kabar berita yang datang. Saat dihubungi nomornya sedang tidak aktif.

Aku mengisi masa penantian itu dengan meneruskan tulisan yang belum tuntas kuselesaikan sebelumnya. Sempat terbesit untuk menyerah, mengubur semua angan-angan, lalu kembali ke keluarga kecilku. Buah dari renungan itu aku putuskan untuk mencetak hasil kerjaku ini sebagai hadiah kecil untuk Darrius.

Sambil menunggu berlembar-lembar halaman selesai tercetak, aku kemasi beberapa barang-barang bawaan. Tak banyak barang-barang yang ingin kubawa. Semuanya muat hanya dalam satu koper travel ukuran besar. Buku-buku serta barang-barang elektronik sengaja tak kumasukkan ke dalam. Semua masih tetap berada pada tempatnya, sampai kelak aku ambil berdua dengan suamiku. Meski terkadang aku sering jengkel dengan sifat malasnya, tapi harus kuakui dia selalu perduli saat dibutuhkan. Barang-barang yang ada di ruang depan sudah selesai kumasukkan, begitu pula dengan seisi kamar tidur.

Pandanganku tanpa sengaja menangkap sebuah kotak perhiasan yang terselip di sudut tempat tidur. "Liontin Kristal? Ya ampun!! Dimana liontin itu?" ujarku dengan gusar. Maka aku bongkar kembali seisi koper. Aku telusuri semua sudut, mulai dari kamar tidur sampai seluruh isi apartemenku. Wajahku makin pucat saat belum juga mendapatkan benda tersebut. Bukan dikarenakan harganya yang biasa-biasa saja. Tetapi sejarah liontin itulah yang harus tetap kujaga.

Di tengah aku masih sibuk mencari dalam kepanikan, sebuah kaos yang tergantung pada kamar tidur, mengingatkan aku pada Monalisa. Sejak itu aku sadar bahwa liontin itu telah tertinggal di apartemennya.

Dalam keadaan tergesa, aku datangi apartemennya. Sayangnya ingatanku sedikit lamur pada tempat tinggalnya. Oleh karenanya aku hanya bisa menerka-nerka.

"Monalisa! Monalisa!"

Hampir setiap pintu di lantai itu sudah aku ketuk. Tatkala masih tetap berseru kembali di area tengah koridor, suara keributan nyaring terdengar. Suara itu teramat mirip dengan suara Monalisa. Tapi aku tak mau gegabah mengambil kesimpulan bahwa memang itu suara miliknya.

Tanpa terlalu lama mengambil keputusan, secepatnya aku buka pintu yang kutebak disanalah tempat tinggal Monalisa. Beruntung pintu tidak terkunci. Maka aku segera masuk ke dalam, dan baru saja melangkah masuk aku buru-buru keluar. Karena jikalau memang benar itu adalah tempat tinggalnya, waktunya sangatlah tidak tepat untuk menanyakan keberadaan liontin tersebut. Dan tentu aku akan berlama-lama jika bertemu dengannya.

Ya, sejarah memang sangatlah pentingnamun bagiku melayani suamiku jauh lebih berharga dari apa yang sudah dia berikan. Suka atau tidak, aku harus merelakan liontin itu hilang entah dimana.

Perlahan suara bising keributan itu tak lagi terdengar. Belum lagi sampai di depan pintu, tiba-tiba aku menangkap kehadiran sosok pemuda yang hendak masuk ke dalam tempat tinggalku. Lantas aku berlari kencang mengejarnya.

"Id? Dasar sial!! Baru dua hari aku bisa tenang, sekarang kamu sudah berani menganggu ku lagi!!"

Pelan-pelan aku tekan handle pintu, dan kuangsurkan setengah wajahku untuk mengintip dari celah pintu, sampai akhirnya aku sibak keseluruhan. Id tidak disana, lalu aku setengah berlari menuju ke arah pintu kamar mandi. Aku tidak juga menemukan keberadaannya.

"Aku tahu kalau kamu ada di kamar? Jangan kamu bersembunyi seperti anak kecil! Keluar Id! Kamu pikir aku tidak tahu kamu itu siapa!" aku buka pintu kamar tidur, dan ternyata Id juga tidak ada di kamar.

Rahasia Terdalam (Publish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang