FDBH | 1. Sean

158K 9.7K 223
                                    

"Turun." Suara berat dengan intonasi dingin itu membuat Aderine berjingkit kaget. Sedari tadi, gadis itu hanya melamun. Sampai-sampai Aderine tidak sadar kalau mobil yang ia tumpangi, sudah sampai di depan rumahnya.

Tanpa banyak berkata, Aderine segera turun dari mobil itu. Begitu juga dengan Sean, laki-laki tampan beraura dingin itu ikut turun. Sean berjalan cepat memasuki rumah, langkah kakinya yang lebar melangkah mendahului langkah Aderine yang sedikit lamban.

"Segera bersiap-siap. Sebentar lagi kita ke gereja." Langkah Aderine terhenti, gadis itu menatap Ayah angkatnya dengan pandangan bertanya-tanya. Aderine menunggu jawaban dari Sean, namun laki-laki itu sepertinya tidak menyadari arti tatapan Aderine.

"Kenapa kita ke gereja? Memangnya kita mau apa?" Tanya Aderine akhirnya.

Sean tidak menjawab hanya mengedikkan bahunya tak acuh. Laki-laki itu memilih mengayunkan kakinya membawa tubuh tinggi tegap dengan dada bidangnya yang tampak menggoda itu manaiki undakan anak tangga. Tepat pada pijakan anak tangga yang terakhir, Sean menolehkan kepalanya pada Aderine yang masih berdiri di tempatnya dengan keadaan yang sama. Mata gadis itu masih menyiratkan kebingungan.

"Pakai gaun bagus. Jangan bust saya malu." Setelah satu kalimat itu terlontar dari mulutnya, laki-laki itu segera melangkahkan kakinya menuju kamar.

Aderine mendesah, ia merasa sulit bernapas saat bersama laki-laki dingin yang sialnya berstatus sebagai ayah angkatnya itu. Aderine segera mendudukan dirinya di sofa, ketika dirasa kepalanya mulai berdenyut sakit.

Terlalu banyak menangis saat kepergian dan juga pemakaman ibu angkatnya, membuat tubuh Aderine benar-benar lelah. Ditambah lagi permintaan terakhir ibu angkatnya itu, membuat beban pikiran Aderine bertambah.

Aderine memejamkan matanya. Ia menutupi wajahnya dengan pasmina hitam, yang tadi ia gunakan saat menghadiri pemakaman sang ibu. Satu lagi yang membuat beban pikiran Aderine semakin bertambah, beberapa hari belakangan ini Aderine selalu memimpikan kejadian di masa lalunya. Kejadian di mana ia mengikat janji dengan seseorang, seseorang yang sampai saat ini masih menguasai isi hati dan pikirannya.

Aderine begitu merindukan sosok itu, pemuda tampan―Aderine menganggapnya pemuda karena sosok itu terlihat jauh lebih dewasa ketimbang dengannya, meski ia sebenarnya tidak yakin―yang selalu memperlakukannya dengan istimewa. Entah di mana keberadaan pemuda itu, Aderine sama sekali tidak mengetahuinya. Terakhir kali mereka bertemu, saat Aderine masih berusia sepuluh tahun. Itupun hanya ingatan samar-samar yang masih tertinggal di memori otaknya yang bermasalah.

Tanpa terasa mata Aderine pun tertutup, napasnya berderu teratur. Alam bawah sadar Aderine sudah mengajak Aderine menari-nari di alam mimpi, membawa Aderine menjelajahi dunia semu itu.

Tanpa Aderine ketahui, di lantai atas sana masih ada sosok Sean yang menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

****

Matahari sudah bergeser dari kedudukannya, berganti bulan yang sekarang merajai langit, dengan bintang-bintang sebagai temannya.

Sean memandang datar Aderine yang masih terlelap. Sama sekali tidak ada niat di hatinya untuk membangunkan gadis itu. Waktu tampaknya berjalan begitu cepat, seharusnya saat ini Sean dan Aderine sudah berada di gereja. Namun, kenyataannya Aderine masih berada di alam mimpinya, entahlah mimpi seperti apa yang membuat gadis itu tertidur begitu lelapnya.

Oh, jangan lupakan jika seharian ini tubuh gadis itu sudah banyak menerima pekerjaan. Wajar saja jika gadis bernama Aderine itu tertidur begitu lelapnya. Memang seperti itu seharusnya.

Sean terus memandangi wajah cantik di hadapannya, tatapannya sama seperti biasanya. Datar, dingin, dan menusuk. Mungkin, setiap orang yang melihatnya akan merasa takut akan arti tatapan laki-laki itu. Sean terlalu mendominasi, seperti tak terkalahkan dan tak terbantahkan. Entahlah, apakah ada yang berani melawan sosok bernama Sean Leonard itu. Pebisnis muda yang memiliki sejuta rahasia dalam hidupnya.

Mata gadis itu tampak mengerjap, lenguhan kecil keluar dari mulutnya. Mata Aderine membulat ketika melihat keberadaan Sean yang berdiri menjulang di hadapannya, pasmina yang tadi ia gunakan untuk menutupi wajahnya, pun sudah hilang entah ke mana.

"Cepat siap-siap, sebentar lagi kita akan pergi," kata Sean. Aderine yang merasa nyawanya belum terkumpul sempurna pun, hanya menjawabnya dengan anggukkan kepala. Gadis berusia 20 tahun itu, segera bangkit dari posisinya dan langsung berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai satu.

Memang keinginan Aderine memilih kamar yang berada di lantai satu. Entah mengapa, setiap Aderine menginjakkan kakinya di lantai dua rumahnya, perasaan Aderine selalu tidak enak. Ia tidak tahu kenapa hal iti terjadi padanya, Aderine merasa tidak ada yang ia lupakan dari masa lalu, namun bukan berarti Aderine tidak merasa ada bagian yang hilang darinya.

Sean menatap pintu kamar Aderine, yang masih bisa terlihat dari posisinya sekarang. Laki-laki itu terus menatap pintu kamar Aderine, tanpa berniat mengalihkan tatapannya pada objek lain.

Tidak ada yang tahu apa arti tatapan itu. Sean Leonard, dia begitu dingin dan begitu misterius. Tidak banyak yang bisa diketahui dari seorang Sean, meskipun pria itu memiliki pengaruh besar di dunia bisnis, dan merupakan sosok yang terkenal. Apa pun hal mengenai Sean, seolah memiliki gembok penjaganya sendiri-sendiri.

Tidak lama, pintu kamar Aderine terbuka. Menampilkan Aderine dengan gaun putih polos yang berendra di ujung roknya. Gaun yang cukup sederhana, namun dapat memberi kesan anggun untuk pemakainya. Aderine terlihat cantik memakai gaun itu, dia terlihat bak malaikat tanpa sayap yang turun dari kayangan. Cantik dan memesona.

"Ayo." Nada tak berintonasi namun terdengar memerintah itu, membuat kaki jenjang Aderine bergerak otomatis.

Aderine berjalan mendekati Sean yang hanya menatapnya dengan datar. Sean segera melangkahkan kakinya melihat Aderine yang mendekat, sementara Aderine, gadis itu berusaha mengimbangi langkah lebar Sean yang sudah berjalan beberapa langkah di depannya dengan berlari kecil.

Sean melangkahkan kakinya bak angin puyuh, seakan-akan saat ini ia tengah mengikuti lomba jalan cepat. Yang jika ingin memenangkan hadiah utama, ia harus mendapat tempat di garda terdepan. Dalam artian, ia harus menjuarai lomba itu.

Aderine menutup dengan pelan pintu mobil yang ditumpanginya. Gadis itu segera memasang sabuk pengamannya, agar Sean dapat melajukan mobil itu dengan segera.

"Dad, kenapa malam ini kita pergi ke gereja?" Tanya gadis itu seraya melirik Sean yang hanya menatap datar arah depannya. Di belakang mobil Sean, sudah ada dua mobil lain yang mengikuti, mereka bukan penjahat melainkan pengawal yang bekerja pada laki-laki es itu.

Sean hanya diam, lagi-lagi laki-laki itu tidak berminat menjawab pertanyaan Aderine. Lagipula, jika mereka sudah sampai di tempat, Aderine pasti mengetahui jawabannya tanpa harus bertanya.

Sean mempercepat laju mobilnya, ia ingin segera sampai di tempat tujuan.

****

Tbc...

Suka tidak?

Masih mau lanjut?

Maaf untuk typonya yang banyak.

From Daddy Be Hubby [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang