Follow IG saya ya @delasinta_
*
Dengan langkah gontainya, Aderine berjalan melewati koridor kampus. Ia sedikit kesulitan untuk berjalan, dan hal itu karena ulah Si Kulkas yang tiba-tiba berubah menjadi Kompor yang tiba-tiba meminta sesuatu―dalam kategori intim―padanya.
Di sebelahnya, tampak Naima yang asik bercerita mengenai rencana kencannya nanti malam. Dan hanya ditanggapi sekilas oleh Aderine. Aderine merasa malas menanggapi Naima karena rasa sakit diintinya yang tidak kunjung reda.
Aderine mulai ragu, padahal di beberapa novel erotis yang pernah dibacanya, perempuan yang baru pertama kali melakukan hubungan intim―hal ini menunjukkan bahwa Aderine merupakan salah satu pembaca novel erotis―rasa sakit itu hanya bertahan untuk sesaat. Buktinya, pada narasi cerita menunjukkan kalau paginya si perempuan merasakan kesakitan pada intinya, namun pada siangnya si perempuan sudah melakukan aktivitas berat. Dan tidak lagi menyebut kalau bagian intinya itu masih sakit. Kenyataan yang dialaminya, rasa sakit itu masih benar-benar ada sampai detik ini.
"Ad, nanti malem lo ikut gue ya? Kita double date gitu," kata Naima.
"Double date apaan? Gue nggak ada pasangan, gue sama siapa dong?" balas Aderine tak acuh.
"Makanya kalo ada yang naksir, terus nembak tuh ya diterima. Jangan dianggurin aja. Noh, si Alden pasti mau lo ajak, secara dia kan naksir berat sama lo. Eh ya, ngomong-ngomong muka lo sama muka si Alden kok rada mirip ya? Jangan-jangan..."
Naima seakan memang sengaja menggantung ucapannya, berusaha menciptakan suasana tegang di antaranya dan juga Aderine. Namun, sama sekali tidak dihiraukan oleh Aderine.
"Lo nggak penasaran sama ucapan gue?" Tanya Naima, gadis satu itu berusaha menarik perhatian sang sahabat. Barangkali, setelah ia bertanya seperti itu, Aderine akan bertingkah antusias, dan akan meneriakkan, 'Jangan-jangan apa?! Jangan bikin gue penasaran Naima sahabat gue yang cantik!'
Tapi sayang sekali, Aderine buka tipe orang seperti itu. Untuk apa ia berteriak selayaknya orang gila, hanya karena sahabat terkonyolnya itu menggantung ucapannya? Lagi pula, Aderine masih memiliki malu untuk tidak melakukan hal itu.
"Nggak."
"Masa sih, enggak?" Aderine mengangguk.
"Heh, lo mah suka gitu orangnya, nggak bisa lihat temennya seneng sebentar aja."
Aderine merotasikan bola matanya dengan jengah. Wanita itu menatap Naima sekilas, lalu menghela napasnya dan mengulum seulas senyuman yang sama sekali tidak bisa disebut sebagai senyum manis.
"Ya udah, Naima Cantik, tadi lo mau ngomong apa? Aderine si Udik lagi penasaran nih," ucap Aderine yang kemudian membuat tawa Naima pecah.
"Ini nih, gue cuma mau bilang kalo jangan-jangan lo sama Alden itu jodoh lagi. Habisnya muka lo sama si Denden mirip sih, kan kata orang kalau muka kita mirip sama orang asing yang nggak punya ikatan darah sama kita itu, tandanya kita jodoh."
"Ngaco lo, udah ketularan sama Alden ya gini. Jangan-jangan lo lagi yang jodoh sama Alden. Sikap lo kan sebelas dua belas sama si Alden." Naima kembali tertawa mendengar ucapan sahabatnya itu. Sudut matanya tampak berair saking parahnya ia tertawa.
"Mana mungkin? Gue kan cintanya sama Ayang Mario. Nggak lah, dih lagian si Alden kayak petasan gitu anaknya. Nggak klop lah sama gue yang juga kayak petasan gini," balas Naima diiringi tawa menggelegar.
"Sadar diri juga lo, kalau udah kayak petasan." Naima nyengir. Kemudian Aderine melanjutkan ucapannya, "Nah, itu tuh, panggilan lo ke Mario aja mirip kayak panggilan si Denden ke gue. Kalian klop lah." Aderine melirik singkat sahabatnya, lalu memofuskan lagi matanya ke ujung koridor di mana pintu kelasnya sudah terlihat.
"Nggak bakal, gue mah setia sama Ayang Mario."
Mahasiswi cantik yang mengambil jurusan manajemen bisnis itu―Aderine―mengedikkan bahunya tak acuh, berusaha mengabaikan kicauan sahabatnya dan juga mempercepat langkah kakinya meski hal ini dapat membuat nyeri di bagian intinya kembali terasa.
****
Aderine tersenyum, melambaikan tangannya pada Naima yang sudah berada di atas motor besar pacarnya yang gadis itu gadang-gadang sebagai laki-laki tertampan yang pernah dilihatnya―walau fakta menyatakan kebalikannya. Aderine segera melangkahkan kakinya menuju bangku kosong yang terletak di dekat gerbang kampusnya.
Hari ini Aderine bisa bernapas lega, karena si Perusuh Alden sedang tumben-tumbennya tidak mengganggu dirinya. Entahlah kemana perginya si Curut bernama Alden Brawijaya itu.
Tidak seperti di novel-novel, film-film, atau sinetron dan ftv kebanyakan, di mana ada seorang cowok yang senang menganggu seorang cewek, lalu karena suatu hal cowok itu tiba-tiba menghilang, sehingga si cewek merasa kehilangan dan akhirnya sadar kalau dia sudah jatuh cinta. Tidak. Tidak seperti itu, Aderine malah sangat bersyukur Alden tidak menganggunya. Lagi pula, Alden itu tergolong lelaki baik-baik, mana mungkin si Alden Denden mau menerima wanita macam dirinya yang sudah tidak orisinil itu. Dan ya, Aderine masih memiliki rasa kasihan pada Alden, lebih baik Alden mencari perempuan lain yang lebih baik darinya.
Aderine menghela napasnya, kaki wanita itu tampak mengukir-ukir tanah. Sesekali menatap ke arah gerbang kampusnya. Salah satu hal yang seseorang lakukan ketika merasa jengah menunggu seseorang yang memiliki janji temu dengannya. Tidak hanya itu saja, Aderine membuat gerakan membenarkan kerah baju―turtle neck―berwarna ungu pastelnya yang sedikit melorot.
Ya, ada alasan lain kenapa ia menggunakan jenis baju itu, yang sebenarnya sama sekali tidak Aderine sukai. Dan itu berhubungan dengan kejadian semalam. Untung saja Naima, si Ratu Kepo tidak bertanya macam-macam padanya.
Saat ini Aderine tengah duduk di bangku panjang taman kampusnya, yang menghadap langsung ke gerbang.
Berbicara tentang menunggu, Aderine memang menunggu seseorang yang katanya akan menjemputnya sore ini. Waktu di jam tangan mungil yang melingkar di tangannya sudah menunjukkan pukul setengah lima sore, dan barangkali Sean―yang sebenarnya adalah Leon―masih berada di perjalanan menuju kampusnya itu.
Ah ya, sampai detik ini Aderine masih bertanya-tanya dengan perubahan sikap Sean. Juga, perlakuan Sean siang tadi, yang mengatakan kalau dia bukan Sean, melainkan Leon. Apa tadi itu kembaran Ayah angkatnya? Ah, tentu saja tidak mungkin. Sean itu anak tunggal, setahu Aderine. Lalu, apa yang sudah terjadi dengan pria yang berstatus ayah sekaligus suaminya itu?
Barangkali tadi malam itu Sean tengah mabuk, dan mabuknya itu masih berdampak hingga pagi tadi. Ya, hanya spekulasi itulah yang dapat Aderine simpulkan untuk saat ini.
Tin! Tin!
Suara nyaring klakson seketika menyentak Aderine dari lamunannya. Tampak sebuah mobil sedan berwarna merah metalik dengan merek ternama terparkir di depan gerbang kampus itu. Pengendara mobil mewah tersebut, tampak keluar dari mobilnya dan berjalan mengitari mobil, hingga berhenti pada pintu penumpang bagian depan mobil itu. Ingin rasanya Aderine memasang senyum sinis pada orang itu, namun sadar kalau itu tidak sopan, Aderine segera menggantinya dengan senyum, yang semoga saja, terlihat manis. Malas sekali Aderine beramah-tamah dengan Sean. Ia seperti memiliki dendam kesumat pada laki-laki itu.
Berjalan pelan, Aderine melangkah mendekati mobil itu. Ia masih ragu dan tidak percaya dengan perubahan Sean. Ia bertanya-tanya apa uang terjadi, namun ia tak kunjung mrndapat jawaban. Aderine kesal bukan main.
"Silakan masuk, Tuan Putri." Sean atau lebih tepatnya Sean yang masih berlakon seperti alter egonya itu, membukankan pintu penumpang untuk Aderine. Aderine terdiam, ia menatap suaminya itu dengan aneh.
"Ada apa? Ayo masuk."
Mengangguk patuh, Aderine memasuki mobil Sean.
Untuk beberapa saat suasana mobil itu hening, tidak ada yang memulai pembicaraan. Termasuk Sean, laki-laki itu tampaknya masih fokus pada kaca spion, melihat jalanan apakah ia bisa menjalankan mobilnya saat itu juga atau tidak.
"Ehm ... Dad, aku mau tanya. Apa boleh?"
"Tanya aja, kalau aku tahu jawabannya, aku pasti akan menjawabnya."
Tbc...
Potong dulu, maaf untuk typonya. Btw, nggak apa-apakan alurnya lambat?
KAMU SEDANG MEMBACA
From Daddy Be Hubby [Terbit]
Romance"A-aku ingin kalian menikah." Aderine Jiyana, tidak pernah menyangka akan berada di posisi itu. Saat di mana, Ibu angkatnya yang tengah meregang nyawa, meminta dirinya untuk menikah dengan laki-laki berperingai dingin dan selalu bersikap datar pada...